Kamis, 18 Mei 2017

Tak Punya Pilihan

Sehelai lepas,
serupa bulu unggas.

Perlahan,
pelan,
jatuh tak berhaluan.

Tuan tak punya pilihan.
Tak bisa terbang
dengan sayap yang rumpang.
Tak bisa pulang
dengan rumah yang hilang.

Tuan tak bisa berjalan.
Melangkah ke depan
jiwa dan raga terpisah.
Maju walau pelan
nama diri tinggal kisah.

Tuan tak punya pilihan.
Tuan tak bisa tentukan.
Jatuh tinggal jatuh.
Mati tinggal mati.

Tuan,
Tuan Tuhan, bukan?

Cisarua,
18/05/2017
17:47


Rabu, 21 September 2016

Kita Pernah

Kita pernah bertatap
dengan jarak begitu dekat.

Kita pernah berharap
dengan doa yang begitu lekat.

Antara aku dan kamu,
hanya terpisah oleh predikat yang semu.
Senyummu, menjadi alasan senyumku.
Senyumku, menjadi alasan senyummu.
Aku berani bertaruh,
kau sandarkan kepalamu di bahuku
tak senyaman kau sandarkan kepalamu di bahunya.

Aku pernah mencium aroma napasmu
yang bergerak teratur memenuhi kedua paru-paruku.

Kamu jelas bukan oksigen di antara sesaknya hubunganku.
Aku jelas bukan oksigen di antara sesaknya hubunganmu.
Kita jelas bukan oksigen di antara sesaknya hubungan kita.

Kita hanya berjalan dengan tawa yang tak biasa.
Kita hanya bergandengan dengan bahagia yang tak terpaksa.
Kita bisa
karena kita tak butuh mereka.
Kita ada
karena mereka tak menyentuh kita.
Jadi, apakah mereka sumber ketakberbahagiaan kita?

Ah, jangan munafik.
Kamu pernah berkata mesra dengannya.
Kamu pernah berbuat mesra dengannya.
Kamu pernah bermimpi mesra dengannya.
Jika bukan karena dia, kamu tidak akan pandai menciptakan senyum di pipiku hari ini.

Pikirkan sekali lagi.
Aku hanya angin yang meniup lembut di antara tengkuk lehermu.
Aku hanya sentuhan yang menyusuri seluruh tubuh telanjangmu.
Aku hanya kecupan yang menarik lembut kedua bibir merah jambumu.
Aku tak akan pernah jadi warna dalam aliran darahmu.

Kini, pakai bajumu.
Biarkan sehari saja aku memilikimu.
Bukan karena aku tak pandai menyimpan rahasia antara aku dan kamu.
Tapi aku tak mau
membangun kisah indah dengan menghancurkan kisah yang telah indah.

Karangmulya,
21/9/2016
23:18


Senin, 05 September 2016

Lobby itu Penting

Dalam hubungan antarmanusia, tentunya segala hal tidak bisa dikatakan mutlak. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sebelum diambil sebuah keputusan. Banyak hal yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan. Bisa unsur perasaan, kedekatan, emosional, juga keadaan.
Tentu saja hasil dari sebuah keputusan akan sangat menentukan langkah selanjutnya. Sayangnya, tidak semua keputusan dapat ditawar (diubah). Untuk itu, kemampuan mempengaruhi sebelum sebuah keputusan diambil, menjadi hal penting untuk kita ketahui. Inilah yang kita kenal dengan "lobby".
Lobby bersifat tidak formal. Artinya, me-lobby seseorang, hendaknya dilakukan dengan cara yang santai. Pada dasarnya, me-lobby adalah melakukan pendekatan untuk dapat menarik perhatian seseorang. Dalam hal ini, dengan me-lobby, seseorang akan menaruh perhatian lebih kepada kita, berempati, bersimpati, bahkan termotivasi untuk selalu berpihak kepada kita.
Keputusan yang diambil dari hasil me-lobby bukanlah sebuah keterpaksaan. Karena dengan me-lobby, kita tidak perlu mengungkapkan maksud dan tujuan kita. Yang kita lakukan hanya melakukan pendekatan, menarik perhatian, dan "memainkan" perasaan. Hingga akhirnya, seseorang akan mengambil keputusan, didasarkan atas pertimbangan pribadinya, yang tentu saja akan berpihak kepada kita.
Sayangnya, tidak semua lobby akan berjalan mulus. Meski kita telah susah payah mengikuti hobinya, bermain bersama, dan bercengkrama dengan asyiknya, kadang kala, untuk beberapa orang, lobby menjadi seolah tak berguna. Inilah yang mesti kita sadari, lobby hanyalah usaha untuk menyentuh hatinya, bukan "memaksa" pendiriannya. 
Kita sering sekali mendengar presiden tengah melakukan kunjungan kenegaran ke beberapa negara. Yang beliau lakukan tidak semata-mata hanya untuk jalan-jalan saja. Selalu ada misi khusus yang dibawanya. Entah misi kerja sama dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, teknologi, pertahanan, dan lain sebagainya. Dalam kunjungannya, beliau juga tidak langsung duduk di ruang tertutup dan membicarakan pokok persoalannya. Akan tetapi, selalu ada sesi jalan-jalan berkeliling dan bercengkrama bersama. 
So, Guys! Apa pun yang kalian lakukan, pastikan lobby dulu, baru negosiasi. Jangan langsung meminta keputusan dan jawaban, tapi cobalah untuk menarik perhatiannya terlebih dahulu. Ya, coba saja pada gebetan atau dosen pembimbing kalian. Selamat me-lobby!

Senin, 15 Agustus 2016

Gen Y: Generasi Santai dan Techno-Minded

Sering bertemu dengan mereka yang lebih suka menggunakan teknologi ketimbang melakukan sesuatu secara manual? Bisa jadi kita tengah berhadapan dengan generasi Y (gen Y). Generasi Y dapat dikategorikan kepada sekelompok anak muda yang berusia belasan tahun hingga awal 30-an (lahir awal 1980 hingga awal 2000). Di dunia kerja, generasi yang juga disebut generasi milenium ini adalah generasi andal, karena penuh kejutan dalam menelurkan ide-ide brilian.

Secara singkat, gen Y adalah generasi yang tumbuh di tengah hiruk pikuknya perkembangan teknologi. Paparan teknologi memengaruhi kepekaan gen Y terhadap perubahan. Mereka tidak takut perubahan, namun sering kali tak sabar memulai proses perubahan itu. Mereka adalah generasi yang akrab dengan internet dan sangat aktif dalam media sosial. Gen Y dikenal sebagai generasi yang egosentris, berpusat pada diri sendiri, dan senang unjuk diri. Majalah Time menyebut generasi ini sebagai “me me me generation”.

Sepintas, gen Y terlihat pintar, aktif, dan agresif. Mereka juga tergolong hebat dalam mengerjakan banyak hal dalam waktu bersamaan. Contoh, mereka mampu menulis email di tablet sambil mendengarkan musik lewat headset yang menempel di telinga. Bahkan, secara bersamaan, mereka juga bisa tetap asyik chatting dari telepon pintarnya. Penampilan casual dan santai menjadi ciri khas mereka, kesan serius pun jadi tidak terlihat. Akibatnya, generasi pendahulu sering beranggapan bahwa gen Y tidak pernah serius dan tidak disiplin.

Gen Y bisa dikatakan sebagai pribadi yang bekerja untuk dapat menerapkan kreativitasnya serta mencari lingkungan kerja yang santai dan penuh hura-hura. Mereka bekerja tidak terlalu serius, karena bekerja bukan untuk kehidupan atau menghidupi keluarga seperti yang dilakukan generasi sebelumnya. Mereka sangat techno-minded dan berinteraksi lebih banyak melalui gadget (Skype, Whatsapp, Twitter, Facebook), walau dengan teman satu kantor.

Suka atau tidak, gen Y kini makin mendominasi dunia kerja. Generasi ini menjadi SDM yang dibutuhkan perusahaan. Bahkan, sering kali menjadi andalan dan tulang punggung perusahaan. Dalam lingkup kerja, mereka jelas memiliki karakter yang berbeda dari generasi pendahulu. Untuk itu, mau tidak mau, perusahaan perlu melakukan penyesuaian agar bisa mengoptimalkan SDM yang kian dipenuhi oleh gen Y ini.

Gen Y memiliki kecenderungan selalu ingin tampil beda, termasuk di tempat kerja. Ketika mereka diberi kepercayaan untuk memimpin tim, mereka selalu ingin terlihat berbeda. Uniknya, dari segi keuangan, mereka tidak terlalu mempermasalahkan income bulanan, namun sangat menunggu bonus besar di akhir tahun untuk hura-hura atau kesenangan pribadi.

Kekuatan generasi ini adalah daya kreativitasnya yang tinggi. Lewat bantuan teknologi, mereka memiliki kesempatan exposure yang lebih untuk melihat setiap sudut dunia tanpa perlu pergi ke suatu tempat. Cukup dengan beberapa klik dan bermodal jempol, mereka akan merasakan dan melihat banyak ide di belahan dunia lain.

Sayangnya, gen Y dianggap tak memiliki komitmen tinggi dan loyalitas. Dalam bekerja, mereka cenderung seperti kutu loncat. Ketika tempat kerja tak lagi menyenangkan atau tak sesuai dengan gaya hidup, mereka tak segan-segan mencari tempat kerja baru. Yang dikejar di perusahaan baru biasanya income tahunan yang lebih tinggi dan prestise  bekerja di lingkungan kerja yang lebih sophisticated, lebih keren. Kesempatan untuk traveling juga menjadi alasan kuat bagi generasi ini untuk berpindah kerja. Selain itu,pengaruh ikatan teman juga dengan mudah membuat mereka mengubah karier dan pekerjaan.

Anak muda yang selalu ingin coba-coba, kerja tidak pernah ajeg di satu tempat, dan terlalu peduli soal teknologi terbaru. Mungkin ini sebagian gambaran ringkas generasi Y. Bagi generasi sebelumnya, generasi X (lahir tahun 1965­–­1979 ) dan baby boomer (lahir tahun 1946–1964), gen Y memberi kesan sebagai generasi yang tak terlalu membanggakan. Hal itu karena di mata generasi pendahulunya, gen Y memiliki beberapa ciri negatif seperti tak merasa bersyukur, egosentris, individualisme yang sangat tinggi, dan gampang bosan. Secara politis, gen Y juga cenderung tak mau terlalu ambil pusing, meski mereka, pada umumnya, mempunyai toleransi yang tinggi.

Namun, tidak bijak rasanya jika kita hanya menyoroti kelemahan dari sebuah generasi. Bagaimanapun, setiap masa pasti ada pemimpinnya. Waktu terus berputar dan manusia terus berganti. Suka tidak suka, gen Y inilah yang nantinya akan menjadi pemimpin bangsa. Siap tidak siap, perubahan harus selalu kita hadapi. Terlepas dari generasi apa pun kita, bergerak (move on) lebih baik daripada diam di tempat (move off). move on, Bro!

Senin, 01 Agustus 2016

Teenlit sebagai Media Alternatif dalam Proses Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia bagi Remaja


Ketika kita berjalan masuk ke sebuah toko buku, bukan pemandangan aneh lagi melihat banyak novel hasil karya para remaja. Beberapa nama di antaranya sudah sangat kita kenal, namun banyak juga penulis baru yang tidak pernah kita dengar sebelumnya. Dengan cover lucu nan unyu, buku-buku mereka memenuhi hampir seluruh etalase novel populer. Kebanyakan judul berbahasa asing. Namun ada juga beberapa yang tetap mempertahankan nuansa lokalnya. Itulah teenlit, novel-novel karya remaja yang kini tengah merajalela.

Teenlit merupakan sebuah akronim dari teenager (remaja) dan literature (sastra). Secara sederhana, teenlit berarti sastra remaja. Hal ini tentu saja seiring dengan isinya yang lebih dekat dengan dunia remaja. Dari sini, teenlit dapat pula disebut sebagai sebuah karya sastra. Rene Wellek dan Austin Warren memberikan batasan sastra sebagai segala sesuatu yang tertulis dan tercetak. Teenlit tenstu saja merupakan sebuah karya yang tertulis dan tercetak. Dengan demikian, teenlit termasuk dalam sebuah karya sastra.
Dari segi struktur, teenlit ternyata juga memiliki unsur-unsur pembentuk yang serupa dengan karya-karya sastra lain. Teenlit memiliki alur, tema, tokoh dan penokohan, setting, juga gaya bahasa di mana semua itu merupakan bagian dari unsur intrinsik sastra. Hal ini membuktikan bahwa teenlit dapat digunakan sebagai media pembelajaran sastra di sekolah karena siswa dapat menganalisis unsur-unsur intrinsik yang terkandung dalam teenlit.

Meski demikian, akar dari genre ini sesungguhnya berasal dari Barat. Buku Harian Bridget Jones (terjemahan Bridget Jones Diary; juga telah dilayarlebarkan) merupakan buku pertama dari genre tulisan populer ini yang muncul di Indonesia pada 2003. Namun, ketika teenlit terjemahan sepertinya mulai mendominasi, para penulis lokal pun turut menggeliat. Karya-karya mereka bahkan sampai tercetak hingga jutaan kopi. Hal itu menunjukkan bahwa teenlit lokal pun bisa menggeser dominasi teenlit Barat. 
Sebut saja Cintapuccino yang dalam sebulan sudah harus dicetak tiga kali dan terjual 11.000 eksemplar sejak diluncurkan. Dealova tercetak sejumlah 10.000 eksemplar, juga sebulan setelah dirilis. Fairish yang sampai 2005 sudah terjual hingga 29.000 eksemplar. Fakta tersebut menggambarkan potensi yang dimiliki para penulis lokal kita tidaklah kalah dengan para penulis luar. Setidaknya, mereka berhasil meraih pasar dalam negeri.

Sebagai salah satu genre tulisan, teenlit mungkin bisa dibilang tidak terlalu rumit. Alur cerita yang mudah ditelusuri, gaya bahasa yang sangat mengena, fenomena yang diangkat terkesan sangat dekat dengan kehidupan remaja, semua itu memungkinkan penerimaan bagi genre yang boleh disebut relatif baru dalam khazanah sastra Indonesia. Hal ini pulalah yang menjadi daya tarik bagi remaja sebagai kalangan yang paling menggemari teenlit
Isi cerita yang demikian, bisa dimaklumi karena kebanyakan penulis genre ini ialah remaja. Dealova, misalnya, ditulis ketika penulisnya masih duduk di bangku SMP. Sementara Me Versus High Heels ditulis oleh siswi SMU. Sebagian karya ini malah diangkat dari buku harian dengan modifikasi di sana-sini demi menghasilkan rangkaian cerita yang menarik. 
Tidak dapat dipungkiri, fenomena ini memberi dampak positif, setidaknya dalam dua hal. Pertama, keberhasilan para penulis muda ini bisa mendorong siapa saja untuk mulai mengikuti jejak mereka. Tidak heran bila kemudian ada lebih banyak lagi penulis untuk genre baru ini. Kedua, fakta bahwa beberapa novel berangkat dari sebuah buku harian bisa menegaskan kembali bahwa menulis tidak serumit yang dibayangkan kebanyakan orang. Semua bisa diawali dari diri sendiri.

Pada sebuah teenlit, remajalah yang menjadi sentralnya. Kehidupan mereka berada di seputar sekolahan, pergaulan dengan teman-teman sebaya mereka, juga hobi dan minat anak remaja. Dunia remaja juga dimeriahkan dengan percintaan yang umumnya dengan teman-teman sebaya mereka, mulai dari menaksir seseorang dan jatuh cinta, patah hati, sampai pada kenakalan remaja. Semua itu tercermin dalam sejumlah teenlit. Dengan demikian, secara tidak langsung, sebuah teenlit bisa dianggap sebagai cermin budaya para remaja.

Lihat saja, misalnya, Looking for Alibrandi yang menggambarkan kehidupan anak remaja. Novel yang ditulis dengan gaya penulisan buku harian ini isinya tidak jauh dari kehidupan sekolah, jatuh cinta (baca: naksir), dan pesta ulang tahun. Sementara itu, gambaran kehidupan remaja yang natural, dengan kekonyolan, kejahilan, dan keanehan lainnya bisa juga dilihat pada Fairish
Lalu aspek yang rasanya juga jelas terlihat ialah aspek bahasa. Gaya bahasa gaul, yang sebenarnya merupakan bahasa Indonesia dialek Jakarta, turut hadir dalam novel genre ini. "Lo-gue" yang dihadirkan tidak sekadar membuat teenlit begitu terasa dekat dengan para remaja, tapi justru dunia remaja yang demikian itulah yang tercermin lewat teenlit. Belum lagi cara penyajiannya yang menyerupai penulisan buku harian, lebih membangkitkan keterlibatan para pembacanya (Santoso 2005).

Sebagai cermin budaya remaja, teenlit juga turut menghadirkan efek positif. Kita mengakui kalau masa-masa remaja tidak sekadar masa-masa ceria belaka, tetapi juga masa-masa kritis pencarian jati diri. Santoso melihat bahwa sejumlah teenlit turut memberikan alternatif pencarian identitas diri, mulai yang normatif, sampai yang memberontak. Para pembaca bisa menggunakannya sebagai salah satu pertimbangan pilihan identitas diri.

Meski fenomenal, pro-kontra terhadap genre ini tetap saja mencuat. Sebagian kalangan beranggapan bahwa karya satu ini adalah karya yang terlalu ringan. Sama sekali tidak mengangkat fenomena krusial dalam masyarakat. Teenlit juga dianggap hanya menawarkan sisi manis kehidupan, sesuatu yang tidak bisa dianggap sebagai kondisi global masyarakat Indonesia.

Gugatan demikian pada satu sisi memang ada benarnya. Kalau kita bandingkan, misalnya dengan novel O karya Eka Kurniawan, teenlit jelas tidak seimbang. Eka Kurniawan tidak sekadar menyajikan bahasa yang "taat kaidah", tapi juga indah. Isu yang diangkat juga cenderung lebih kaya dan berbobot. Hal ini menyebabkan teenlit tidak akan bertahan lama.

Selain itu, teenlit juga dianggap sebagai genre yang merusakkan bahasa. Meskipun ragam lisan menjadikan teenlit sangat dekat dengan pembacanya yang notabene merupakan remaja, ragam itu cenderung tidak disajikan dengan daya didik yang tinggi. Malah, keberadaan bahasa Indonesia terkesan tidak terencana dan tidak terpola dengan baik. Termasuk pula keberagaman bahasa dan warna-warni percakapan yang dipandang tidak dapat dipola serta hampir tidak terkendali. Selain itu, dari segi politik bahasa nasional, novel teenlit dianggap tidak memedulikan bahasa Indonesia.

Dari segi isi, teenlit juga dituduh sebagai genre yang menganggap bahwa nilai-nilai pergaulan seperti di Barat (berciuman dengan lawan jenis, membicarakan seks, pesta-pesta) wajar-wajar saja diterapkan. Maka yang ditampilkan ialah warna-warni kehidupan yang meniru gaya Barat. Sehingga rok pendek dan baju ketat turut menjadi tren masa kini. Demikianlah kira-kira gugatan yang disampaikan lewat sebuah Debat Sastra yang diselenggarakan di Universitas Nasional, 7 September 2005 tentang teenlit.

Gugatan ini bisa dianggap cukup berlebihan. Karena kalau kita mencermati, gaya hidup remaja sejak sebelum genre ini merebak, tidaklah berbeda jauh. Aspek bahasa mungkin tidak seheboh saat ini, namun sudah tercermin sejak lama. Demikian pula dalam hal pergaulan. Apalagi pengaruh budaya Barat sudah meresap di negeri ini sejak lama. Dengan kata lain, transisi budaya itu tidak terjadi ketika teenlit hadir.

Berbicara mengenai bermutu atau tidaknya sebuah karya sastra, akhirnya jatuh pada penilaian pribadi pembacanya. Sebuah karya sastra disebut bermutu bila ia mampu memberikan kebaruan terhadap pembacanya. Tentu saja ini mengandung pengertian bahwa karya sastra bermutu itu multi-interpretasi. Di mana sebuah karya mampu ditafsirkan dalam banyak segi kehidupan sesuai dengan latar belakang pembacanya. 
Dari paparan tersebut, kurang bijak rasanya memvonis teenlit sebagai sebuah karya yang tidak bermutu karena dianggap tidak memenuhi nilai sastra. Perlu diingat pula bahwa setiap karya sastra memiliki golongan pembacanya sendiri. Jadi, hal ini ikut menegaskan bahwa bermutu atau tidak sebuah karya sastra tergantung pula bagaimana pembaca menilainya.

Dengan demikian, tentu teenlit tidak dapat serta merta dipandang dengan sebelah mata. Kedekatannya dengan dunia remaja telah menjadikan teenlit mendapat tempat tersendiri dalam kehidupan siswa. Justru karena itulah, teenlit dapat digunakan sebagai suatu media alternatif dalam proses pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia sehingga diharapkan pembelajaran akan lebih menyenangkan dan siswa terlibat di dalamnya.

Selasa, 31 Mei 2016

Kejutan Memesona Seorang Ove

Editor Bahasa KORAN SINDO Nicky Rosadi, blogger Trully Rudiono, dan editor sekaligus peresensi Teguh Afandi menjadi narasumber dalam diskusi novel A Man Called Ove yang digelar Selasa (17/5) lalu di aula Gedung SINDO, Jakarta.


Noura Books kembali menghadirkan novel berkualitas yang ditulis oleh seorang penulis asal Swedia, Fredrik Backman, berjudul A Man Called Ove. Berawal dari blog, kisah fiksi tentang seorang laki-laki tua bernama Ove (59) akhirnya ditulis ke dalam sebuah novel. 

Kisah Ove merupakan kisah yang menguak banyak makna, tentang laki-laki tua tempramen yang memiliki sejumput cinta terhadap orang-orang di sekitarnya. Diskusi novel A Man Called Ove digelar Selasa (17/5) lalu di aula Gedung SINDO, Jakarta. Dalam diskusi tersebut, blogger dan pegiat buku Truly Rudiono menilai, novel A Man Called Ove memberikan banyak kejutan yang tidak terduga. 

Kejutan tersebut hadir dari karakteristik Ove yang dinilainya cukup perfeksionis. Tokoh Ove dalam novel digambarkan sebagai tokoh yang tempramen, namun juga memiliki kelembutan hati yang ditunjukkan dengan cara berbeda. ”Ove merupakan tokoh yang perfeksionis. Ia tempramen, tapi di satu sisi sangat penyayang,” katanya. 

Di dalam banyak adegan, Ove merupakan sosok yang saklek dan sangat pemarah, termasuk pada kucing peliharaannya. Namun di sisi lain, karakter Ove justru memberikan kejutan yang sangat tidak terduga. Kejutan tersebut bisa berupa cara menunjukkan kasih sayang yang berbeda dari orang kebanyakan. Baginya, Ove merupakan tokoh utama yang sangat hidup dan memberi warna yang komplit dalam alur novel. 

Sebagai orang tua, baginya, tingkah dan karakteristik tokoh Ove kadang kala menggelitik, menggemaskan, sekaligus juga membuat pembaca terenyuh. Pasalnya, sebagai orang tua yang hidup dengan prinsip dan pola pikir yang dipercaya dan telah lama dianutnya, budaya baru dalam dunia sosial kini (gadget), kurang dapat dijamahnya. Hal itu, menurutnya, menimbulkan sisi humor yang apa adanya dan mengingatkan kita akan kehidupan para lansia di dunia nyata. ”Ove merupakan sosok yang berbeda dari segi sifat. Namun, di sisi lain Ove juga mengingatkan kita akan nilai humor yang terjadi begitu saja,” katanya. 

Di sisi lainnya, kasih sayang Ove yang ditunjukkan dengan hal yang tidak biasa bagi setiap orang pada umumnya, membuat beberapa sisi dari alur cerita A Man Called Ove cukup menyentuh. Menariknya, Ove merupakan sosok yang sama sekali tidak mengharapkan kata terima kasih ataupun penghargaan lainnya. 

Ove, baginya, adalah tokoh kompleks sekaligus romantik. Sementara, editor Noura Books Yuke Ratna menyatakan, novel A Man Called Ove merupakan salah satu novel yang telah laku terjual sebanyak 500.000 eksemplar di Swedia. Dengan jumlah penjualan yang cukup signifikan tersebut, Noura Books pun menghadirkannya ke dalam bahasa Indonesia. 

Menurut Yuke, pertimbangan novel terjemahan A Man Called Ove hadir di Indonesia bukan hanya mengacu pada sisi nilai penjualan. Lebih dari itu, kisah tentang Ove merupakan salah satu kisah yang cukup inspiratif dan dapat memberikan perspektif baru. Perspektif baru itu salah satunya hadir dengan latar Swedia yang jarang ditulis oleh novelis-novelis populer di dunia. 

Yuke menilai, kisah Ove dengan latar Swedia dapat memberikan perspektif budaya yang baru tentang masyarakat dan kehidupan masyarakat Swedia yang berbeda dengan negara-negara Barat lainnya, seperti Inggris ataupun Amerika. ”Kultur masyarakat Swedia dengan negara Barat lainnya sangat berbeda, di sisi inilah pembaca barangkali bisa mendapatkan bayangan lebih jauh akan itu (kultur Swedia),” katanya. 

Ia menjabarkan, kultur masyarakat Swedia yang cenderung acuh dan individualistis secara garis besar merupakan bayangan akan sosok Ove. Namun, Ove memiliki nilai perbedaan dari kesemuanya. Sikap keukeuh dan tempramen Ove yang banyak ditonjolkan dalam banyak bab justru menghadirkan kejutan di akhir kisah. Kejutan akan sikap Ove terhadap istrinya, Sonja, ataupun bagaimana seorang Sonja bisa menerima Ove dengan sangat terbuka. 

Perlu diketahui, Sonja merupakan sosok wanita pada umumnya, sosialistis dan pandai membangun komunikasi. Sementara Ove merupakan kebalikannya. Ove dan Sonja merupakan dua kutub yang berbeda, namun herannya dapat bertemu dalam satu garis yang disebut dengan rumah tangga. 

Menguak kisah cinta keduanya, Yuke menilai, pembaca akan tahu apa kejutan dan romantisme Ove dan Sonja jika membaca novelnya hingga tuntas. ”Ove dan Sonja itu pembawaannya berbeda. Mereka dua kutub yang berlainan, tapi anehnya dapat bersatu,” katanya. 

Tips Menulis Resensi 

Selain membedah buku A Man Called Ove , diskusi tersebut juga menyajikan tips dan trik dalam menulis resensi. Editor Noura Books dan penulis resensi buku Teguh Afandi menilai, terdapat banyak hal yang harus dipegang teguh dalam menulis resensi. Setiap penulis resensi menurutnya memiliki kriteria tersendiri dalam penulisannya. Akan tetapi, secara garis besar, seluruh penulis resensi harus mengacu pada kode etik yang ada. 

Meski kode etik dalam penulisan resensi pada setiap media berbeda, Teguh menilai, secara garis besar terdapat satu kode etik yang paling umum yang harus ditaati para penulis resensi, yakni menghindari plagiasi. Plagiasi merupakan tindakan tercela dalam karya tulis. 

Selain bukan merupakan proses berpikir mandiri, plagiasi juga akan berimbas pada kredibilitas si penulis. ”Yang paling umum, setiap penulis resensi tidak boleh plagiat,” katanya. Selain menjabarkan mengenai kode etik, Teguh juga menjabarkan tentang tips dan trik menulis resensi agar dapat dimuat di media. *imas damayanti

Sumber: http://www.koran-sindo.com/news.php?r=0&n=16&date=2016-05-29

Rabu, 13 April 2016

Bagian II: Anak Perantara

Alila, ibu Dewa, meminta ayahnya untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Dia merasa, ada sesuatu yang perlu diketahui terkait anaknya.

“Tidak ada apa-apa, Anakku,” ayahnya menjawab singkat.

“Lalu, apa maksud kata-kata Ayah tadi?”

“Tidak ada maksud apa pun,” kata Ayahnya yang kemudian berjalan ke dapur. Kemudian terdengar bunyi benturan gelas dan suara air yang dituang dari teko.

Sambil menahan rasa gelisah, Alila menunggu ayahnya kembali ke ruang ibadah. Alila hafal betul gelagat ayahnya. Ayahnya tidak mungkin menjawab sesingkat itu dan meninggalkannya begitu saja sebelum pembicaraan benar-benar selesai jika memang tidak ada yang disembunyikannya.

“Ayah, aku bangga kepada Ayah yang bisa membesarkanku sejak umur 12 tahun,” kata Alila begitu ayahnya kembali ke ruang ibadah. “Tapi apakah Ayah mau menghancurkan kebanggaanku kepada Ayah hanya karena masalah ini? Ayah, aku mohon, katakanlah. Apa yang sebenarnya terjadi pada anakku, Yah?”

Ayahnya menarik napas panjang. Setelah sempat menatap mata Alila selama beberapa saat, Akhirnya dia mau bicara.

“Begini, Alila. Sebenarnya ada yang aku rahasiakan dari dirimu tentang keluarga kita,” kata ayahnya mengawali pembicaraan.

“Maksud Ayah?”

“Sebenarnya, kau dilahirkan untuk tidak perlu mengetahui rahasia ini. Tapi aku rasa, tidak ada salahnya jika aku memberitahukanmu hal ini sekarang.”

Alila mengernyitkan dahinya. Tatapan tajamnya tertuju kepada ayahnya.

“Tadinya, kupikir, aku bisa mengubah takdir. Akan tetapi, aku tak bisa mengubah apa yang seharusnya terjadi,” kata ayahnya melanjutkan.

Alila masih diam menatap ayahnya.

“Dulu, ketika hanya ada satu daratan dan satu lautan. Ketika dunia benar-benar sepi. Ketika dunia hanya dihuni oleh sepasang manusia. Dan, ketika hanya ada satu setan yang menggoda. Ya, itulah waktu ketika Adam dan Hawa baru saja terusir dari surga. Itulah waktu, ketika Tuhan baru saja mengabulkan permintaan Iblis untuk terus menggoda manusia dan keturunannya hingga kiamat.

Kita semua tahu bahwa Adam dan Hawa terpisah jauh di bumi ketika diturunkan. Tapi apakah kau tahu sebelum bertemu Hawa, Adam sempat bertarung dengan Iblis?”

Alila terdiam. Dia hanya menggeleng tanpa mengeluarkan suara apa pun. Telinganya fokus menyimak, dan matanya tak pernah lepas memandang ayahnya.

“Sebenarnya,” kata ayahnya kembali bercerita, “Adam yang baru saja jatuh ke bumi langsung menantang Iblis. Iblis menerima Adam. Seketika itu juga, Iblis langsung menghajar Adam. Pertarungan pun tak bisa terhindarkan. Bertahun-tahun lamanya pertarungan itu berlangsung; tanpa henti, tanpa istirahat, dan tanpa ada yang menyerah. Bagi mereka, hanya ada satu tujuan yang pasti; menang! Tak ada yang berani memisahkan mereka. Bahkan para malaikat pun hanya bisa berdoa agar pertarungan itu segera diakhiri.

Akhirnya, pertarungan berakhir ketika Adam diberikan sebuah pedang dari surga. Pedang yang dijatuhkan dari langit itu mampu menebas tanduk, sayap, dan ekor Iblis. Iblis sekarat. Dia tak berdaya. Kekuatannya pun melemah. Kemudian, Iblis melarikan diri dari pertarungan. Setelah pertarungan selesai, barulah Adam mencari Hawa.”

“Lalu, apa hubungan cerita ini dengan keluarga kita, Ayah? Bukankah seluruh manusia adalah keturunan Adam?”

“Kau benar. Setelah peperangan itu, Adam dan Hawa bertemu hingga akhirnya banyak memiliki anak. Yang kita ketahui, semua anak Adam lahir kembar. Namun sebenarnya, ada satu anak yang lahir tanpa memiliki kembaran. Anak inilah yang kemudian dihasut oleh Iblis untuk membunuh Adam. Anak itu adalah Dajjal.”

“Dajjal? Bukankah Dajjal adalah makhluk yang bangkit pada hari akhir?” tanya Alila heran.

“Itu kata kuncinya! ‘Bangkit’. Bukan diciptakan pada hari akhir, kan? Kaum setan membutuhkan kemampuan Dajjal untuk menguatkan kerajaan mereka. Dajjal punya keahlian yang baik dalam menghasut, kau tahu dari mana kekuatannya berasal?”

Alila tak menjawab sepatah kata pun.

“Iblis. Dajjal diberikan keahlian itu untuk menghasut saudara-saudaranya menjadi pengikut Iblis. Dajjal juga yang menghasut saudara-saudaranya untuk membunuh ayah mereka. Semua kata yang keluar dari mulut Dajjal seakan sebuah kebenaran. Itu sebabnya, hampir setengah dari seluruh anak Adam, terhasut oleh Dajjal.”

“Setengah keturunan?” Alila terperangah.

“Ya. Mereka bersekongkol membunuh ayahnya sendiri. Bayangkan, betapa busuknya mereka. Sayang, hanya sedikit anak Adam yang mengetahui pembunuhan itu. Yang lainnya, hanya tahu bahwa ayahnya mati dimakan binatang buas.

Mereka yang mengetahui pembutuhan itu akhirnya memusuhi Dajjal. Mereka menyadari bahwa Dajjal hanyalah seorang pembohong besar yang tega membunuh ayahnya sendiri. Mereka kemudian berniat menyingkirkan Dajjal. Mereka tahu, Dajjal adalah kaki tangan Iblis. Mereka yang memusuhi Dajjal, dikenal dengan Kelompok Aradith. Penamaan itu dikarenakan salah seorang dari kelompok itu, yang bernama Aradith, secara terang-terangan mengacungkan pedang ke muka Dajjal.

Sebelum melawan Dajjal, Kelompok Aradith memohon kepada Tuhan agar diberikan kemampuan untuk memisahkan kekuatan setan dari jasad manusia dan menghancurkan kekuatan itu. Tuhan pun mengabulkan permohonan baik mereka. Mereka mampu menarik dan mengurung kekuatan setan ke dalam gelembung yang sekeras baja. Di dalam gelembung itu, kekuatan setan dilenyapkan.

Sedikit demi sedikit, pengikut Dajjal pun bisa dilenyapkan kekuatan setannya. Namun tidak dengan Dajjal. Kekuatannya terlalu besar tak mampu dilumpuhkan. Kekuatan setan telah menyatu dengan Dajjal. Dajjal tak bisa dikembalikan menjadi manusia biasa.

Kelompok Aradith akhirnya memojokkan Dajjal pada sebuah jurang yang sangat curam. Dajjal jatuh ke dalamnya. Tak terdengar suara dentuman ketika Dajjal terjatuh di jurang itu. Kelompok Aradith bersama-sama menimbun jurang itu dengan tanah dan batu di sekitar mereka. Dajjal dikubur hidup-hidup. Namun hingga kini, tak ada yang tahu di mana kuburan Dajjal itu selain Kelompok Aradith.”

“Kalau begitu, bagaimana cara setan membangkitkan Dajjal?” tanya Alila yang terlihat penasaran.

“Dajjal yang telah memiliki kekuatan setan, ternyata tidak bisa mati begitu saja. Setelah Dajjal dikubur hidup-hidup, beberapa anak Iblis datang menyerang Kelompok Aradith. Mereka memaksa Kelompok Aradith menunjukkan di mana Dajjal dikuburkan. Tapi Kelompok Aradith tidak pernah mau memberitahukannya. Hingga akhirnya, dari salah satu anak Iblis yang telah sekarat, Kelompok Aradith tahu bahwa ada cara lain untuk memanggil kembali kekuatan setan yang ada pada Dajjal. Mereka cukup mengumpulkan kekuatan setan mereka hingga sempurna. Jika kekuatan mereka sudah sempurna, mereka cukup melaksanakan ritual pembangkitan Dajjal. Dengan begitu, Dajjal akan bangkit dan datang kepada mereka dengan sendirinya.”

“Bagaimana mereka mengumpulkan kekuatan itu?”

“Seperti benih yang ditanam pada tanah,” jawab ayah singkat.

“Maksud ayah?”

“Manusia adalah tanah dan kekuatan setan itu adalah benihnya. Semakin baik benih itu disiram dan dipupuk, maka kekuatan setan itu akan semakin kuat. Penyiram dan pupuk untuk benih itu adalah kebencian dan kedengkian di hati manusia. Maka tak heran, benih ini bisa tumbuh subur pada diri manusia dengan sedikit bisikan setan,” kata Ayah sambil menunjuk dadanya.

***

Malam semakin larut, namun pembicaraan Alila dan ayahnya masih berlanjut.

“Kita adalah keturunan Aradith, Alila. Kelompok yang bertugas dan menghalangi kebangkitan Dajjal,” kata ayah kembali bercerita.

“Lalu, kenapa Aku tak memiliki kekuatan yang seharusnya dimiliki oleh seorang keturunan Aradith?”

“Kekuatan Aradith hanya muncul berselang, yaitu pada setiap keturunan ganjil.”

“Jadi, anakku memiliki kekuatan Aradith?” tanya Alila yang tak sabar menanti inti ceritanya.

Ayah sempat terdiam. Alila berkali-kali memanggilnya hingga akhirnya ia mau bicara.

“Masalahnya, tanda yang muncul dari anakmu bukanlah kekuatan Aradith, tapi kekuatan setan,” kata ayah sambil menunduk menghindari tatapan Alila.

Alila tercengang. Dia tak bisa berkata apa-apa. Mulutnya terngaga dan matanya terbelalak.

“Tapi, tadi Ayah bilang, kita adalah keturunan Aradith. Mengapa anakku malah memiliki kekuatan setan?” tanya Alila. Terlihat matanya mulai berkaca.

“Begini, Alila. Menurut Mushaf Aradith, kelangsungan Aradith akan berakhir pada saat di mana seorang keturunan Aradith memiliki kekuatan setan. Artinya, anak itu adalah keturunan Aradith terakhir, dan juga anak berkekuatan setan terakhir. Anak ini memiliki kekuatan yang lebih kuat dari anak yang memiliki kekuatan setan lainnya. Anak inilah yang kemudian disebut sebagai anak perantara.”

“Tidak mungkin. Ayah, Aku tidak mewarisi kekuatan setan. Yang aku warisi adalah kekuatan Aradith. Maka tidak mungkin anakku memiliki kekuatan setan, Yah,” kata Alila masih tidak percaya.

“Ya, kau benar. Kau tidak mungkin mewarisi kekuatan setan. Tapi, sampai saat ini mungkin kau tidak pernah tahu bahwa kau telah menikahi seorang pemuja setan,” ucap ayah lirih.

Seketika Alila mematung. Matanya tak berkedip menatap ayahnya. Mulutnya sedikit terbuka. Terdengar setengah bisikkan keluar dari mulutnya, “Suamiku.... ” Belum sempat Alila meneruskan kata-katanya, ayahnya telah lebih dulu menyelesaikan kalimatnya.

“Ya. Suamimu adalah seorang pemuja setan,” kata ayah singkat.

Alila kembali mematung. Seolah ada anak panah yang menghujam jantungnya. Dadanya terasa sesak, tapi dia masih bisa merasakan napasnya tetap masuk ke tubuhnya secara perlahan. Hatinya berubah kalut. Pikirannya kusut. Malam yang semakin larut seolah tak dapat menenangkan hatinya. Nyanyian para jangkrik bahkan tak dapat menjernihkan pikirannya. Bintang memang begitu terang, tapi hari esok tetaplah sebuah misteri.

***

Jumat, 01 April 2016

Workshop Penulisan dan Bedah Buku The Girl on The Train

Nicky Rosadi (Kiri) bertindak sebagai moderator, mendampingi Shinta (tengah) dan Truly (kanan) dalam bedah buku The Girl on The Train, Kamis (28/1/2016), di Gedung SINDO, Jakarta.

Dari kereta, setiap hari si tokoh utama mau tidak mau melihat sebuah rumah di dekat stasiun pemberhentian. Celakanya, rumah tersebut adalah bekas rumahnya. Kini rumah itu dihuni mantan suami bersama istri baru dan anaknya.


Noura Books bersama Koran SINDO bekerja sama menyelenggarakan peluncuran buku dan workshop menulis, Kamis (28/1), di Gedung SINDO, Jakarta. Sejumlah mahasiswa dari kampus-kampus di Jabodetabek turut hadir dalam kegiatan yang salah satunya bedah buku novel terjemahan karya penulis Paula Hawkins berjudul The Girl on the Train.

Buku tersebut dinilai banyak menyajikan kejutan dalam tiap lembar saat membacanya. Hal itu diungkapkan oleh blogger dan penggiat buku Truly Rudiono saat diskusi buku The Girl on The Train. Menurut Truly, novel karya Paula mengundang pembaca untuk tidak sabar membaca dari halaman ke halaman berikutnya. Tak ayal, dirinya hanya butuh waktu tak terlalu lama untuk menghabiskan dalam membaca buku The Girl on The Train.

Kejutan yang dimaksud Truly dalam tiap-tiap lembar dari buku tersebut adalah alur cerita yang tidak terduga. Terkadang menimbulkan tokoh-tokoh kejutan dan cerita yang tidak dapat ditebak sedari semula. Namun, plot cerita begitu terstruktur dan tidak lepas dari pakem-pakem penulisan. Sehingga menurutnya, novel The Girl on the Train menyajikan kisah yang menarik dan komplet. “Novel ini menyajikan banyak kejutan. Banyak muncul tokoh-tokoh kejutan yang tidak kita sadari sebelumnya,” katanya.

Mengenai kereta sebagai latar cerita, Truly menceritakan bahwa kereta menjadi sebuah medium yang sangat menyakitkan bagi si tokoh utama (wanita). Karena dari kereta, si tokoh utama mau tidak mau melihat sebuah rumah di dekat stasiun pemberhentian.

Celakanya, rumah tersebut adalah bekas rumah si tokoh utama yang dihuni oleh mantan suami bersama istri baru dan anak-anaknya. Di dalam desain sampul novel, terdapat percikan darah dan sebuah kereta yang tergambarkan penuh misterius. Secara garis lurus, kemisteriusan kereta dalam sampul bisa juga digambarkan sebagai suasana hati si tokoh utama yang cukup suram usai perceraiannya.

Suram karena si tokoh utama terjerumus dalam candu alkohol. Namun menurut Truly, konflik, intrik, dan akhir cerita sangat menantang dan mengejutkan. Membuat siapa pun yang membacanya tidak akan berpikir untuk meninggalkan halaman demi halamannya begitu saja. “Karena banyak kejutan, maka saya tidak berpikir meninggalkan halaman demi halamannya dengan begitu saja,” katanya.

Sementara, perwakilan Noura Books, Shinta, menyatakan bahwa hadirnya buku terjemahan The Girl on the Train di Indonesia oleh Noura Books diawali saat Frankfurt Book Fair 2014. Saat itu buku tersebut direkomendasikan oleh para agen buku internasional.

Ternyata, pada Januari 2015 di Amerika dan Inggris, buku The Girl on the Train mendapat respons positif. Maka tak heran, novel tersebut tengah dalam penggarapan filmnya. “Novel The Girl on The Train banyak direkomendasikan dari agen buku internasional kepada Noura. Kami (Noura Books) yakin buku ini memiliki nilai lebih untuk dipublikasikan,” katanya.

Para peserta workshop penulisan dan bedah buku tengah berfoto bersama.

Menciptakan Emosi
Selain diskusi novel The Girl on The Train, acara tersebut juga diisi dengan workshop menulis. Dalam pelatihan menulis, salah satu yang dijabarkan adalah bagaimana kiat-kiat menulis yang baik, manfaat dari menulis, serta bagaimana mengolah pengalaman pribadi dan orang lain untuk memperkaya tulisan.

Menurut Shinta, penulis yang baik adalah penulis yang tidak menuliskan emosi seorang tokoh, tapi menggambarkan dan menciptakan emosi itu sendiri. Karena jika emosi dituliskan dengan kata, tidak akan membangun karakter si tokoh dan pembaca akan kehilangan suasana dan tidak terbawa emosi pada cerita.

Dan yang tak kalah pentingnya, menurut Shinta, penulis harus rajin membaca ulang tulisannya pada saat akan memulai kembali tulisannya. Hal itu perlu agar terjadi kesinambungan dalam alur cerita dan mendapatkan koreksi dari tulisan-tulisan yang telah ditulis.

Tak hanya itu, melihat kembali tulisan yang telah ditulis juga akan menciptakan kultur autocorrect pada tulisan sendiri. Acara kemudian ditutup dengan pembacaan cerita pendek (cerpen) dari para peserta workshop tentang perjalanan di sebuah kereta. Ketiga peserta yang berhasil memenangkan workshop antara lain Rahayu, Ika Putri Suwarti, dan Dika.

Dari pembacaan cerpen pemenang workshop, Shinta menyatakan bahwa ternyata banyak cerita-cerita yang dapat ditulis dari hal-hal yang paling sering kita temui. Seperti pengalaman menaiki kereta di sebuah kota, ternyata banyak cerita dari dalam kereta. Orang-orang yang ditemui di dalamnya, sekaligus pelajaran apa yang dapat dipetik dari sebuah tulisan.

Dari pelatihan menulis, sekecil apa pun, akan menjadikan tulisan itu berarti. Yang tak kalah penting, menurut Shinta, kunci pertama untuk menjadi seorang penulis adalah banyak-banyak membaca buku. Karena percaya tidak percaya, di dalam buku selalu terdapat kejutan yang sangat berharga. Kejutan itu sepertinya juga termuat dalam novel The Girl on the Train. *imas damayanti

Sumber: http://www.koran-sindo.com/news.php?r=0&n=13&date=2016-01-31 (dengan perubahan)

Rabu, 23 Maret 2016

Bedah Buku Jika Aku Milikmu

Suasana diskusi di Auditorium Koran SINDO.
 
JAKARTA – Selasa 17 November 2015, acara bedah buku Jika Aku Milikmu diadakan oleh GagasMedia bekerja sama dengan Perpustakaan Koran SINDO di Auditorium Koran SINDO, Jakarta Pusat. Acara yang dihadiri oleh dua penulis, Bernard Batubara dan Nicky Rosadi, juga editor novel Jika Aku Milikmu, Widyawati Oktavia, ini mengundang banyak perhatian masyarakat terutama bagi mereka yang gemar membaca dan menulis novel. Dalam diskusi bedah buku kali ini, lelaki yang akrab disapa Bara ini menceritakan sedikit gambaran yang berada dalam novel Jika Aku Milikmu.

Novel yang bertemakan cinta ini mengisahkan tentang Sarif, seorang pemuda yang berasal dari Pontianak, bersama Nur, teman perempuan Sarif yang lahir dan tinggal di kota yang sama. Mereka saling mencintai tetapi tidak mengutarakan perasaan mereka masing-masing. Hingga tiba saatnya Sarif harus pergi ke Jakarta selama empat tahun demi melanjutkan pendidikan di bangku kuliah, sedangkan Nur tetap tinggal di tempat kelahirannya, Pontianak, untuk menjaga ibunya.

Sarif mempunyai ambisi untuk menjadi seorang penulis dan mempunyai intelektual yang tinggi. Sedangkan Nur, perempuan yang ragu untuk menggapai mimpinya dikarenakan Nur harus merawat ibunya yang sakit, padahal dia memiliki bakat bermain biola seperti bakat yang dimiliki ayahnya sebagai pemain biola profesional di kampungnya. Di dalam novel ini, Bara menambahkan peran Mei sebagai wanita lain yang hadir di hidup Sarif. Mei digambarkan sebagai sosok perempuan etnis China berkulit putih, berparas cantik, dan memiliki tubuh semampai, yang  membuat banyak lelaki menyukainya. Mei merasa tertarik dengan Sarif karena mereka mempunyai hobi yang sama. Selain itu, ia juga dapat berdiskusi tentang banyak hal dengan Sarif.
Foto bersama peserta diskusi.
Novel keempat karya Bara ini merupakan seri L.O.V.E CYCLE GagasMedia. L.O.V.E Cycle merupakan seri novel GagasMedia yang menggambarkan tentang putaran kisah cinta yang berawal dari tahap Cinta Pertama–Masa Berharap/PDKT–Masa Berpacaran–Masa Putus–Masa Move On dan Masa Berkomitmen. Seri L.O.V.E Cycle ini melibatkan beberapa penulis GagasMedia.  Novel Jika Aku Milikmu, merupakan seri L.O.V.E Cycle yang menggambarkan situasi di masa berpacaran.

Bara mengatakan, novel ini “tidak sengaja” tercipta karena ia gagal memenuhi deadline yang ditentukan oleh GagasMedia untuk proyek Indonesiana. “Pada awalnya Mbak Iwied, sapaan akrab Widyawati Oktavia, menawarkan saya untuk ikut serta dalam proyek Indonesiana, di mana saya akan menciptakan kisah yang berlatarkan Kota Pontianak yang merupakan kota kelahiran saya. Sayangnya, saya gagal memenuhi deadline yang telah ditentukan. Sehingga saya batal untuk ikut serta dalam proyek tersebut. Mbak Iwied kemudian mengusulkan agar cerita yang saya buat dijadikan novel saja, akhirnya terbitlah novel ini,” ungkap Bara saat diskusi berlangsung.

Bara berpendapat bahwa kisah dua perempuan yang saling memperebutkan cintanya itu lebih seru dan bisa memperpanjang jalan cerita menjadi beberapa adegan. “Berbeda jika novel dengan cerita dua orang pria yang memperebutkan satu perempuan, itu akan berakhir singkat karena kalau tidak bertengkar, mereka mundur salah satu,” ujarnya.

Mbak Iwied, selaku editor novel Jika Aku Milikmu mengatakan, Bara merampungkan novel ini dalam kurun waktu enam bulan. Penulis buku Penjual Kenangan ini menambahkan bahwa GagasMedia sangat terbuka untuk menerima penulis-penulis baru.

“Siapa saja boleh mendaftarkan karyanya, baik berupa kumpulan cerpen maupun novel. Silakan buka www.gagasmedia.net untuk informasi lebih lanjut. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, di antaranya calon penulis harus menulis minimal 75 halaman. Setelah itu editor akan mengulas selama kurang lebih 3–5 bulan. Kemudian tim editor akan menghubungi penulis untuk tahap selanjutnya,” ungkap Mbak Iwied.

Nah, bagi kalian yang senang menulis cerita-cerita fiksi dan cerpen, bisa mengirimkan karyanya melalui website GagasMedia. Mbak Iwied menyarankan, alangkah baiknya jika calon penulis membaca terlebih dahulu karya-karya penulis lain yang bukunya telah diterbitkan oleh GagasMedia. Agar calon penulis mendapatkan referensi mengenai karya yang sesuai dengan standar GagasMedia.

Novel Jika Aku Milikmu telah dijual di toko-toko buku seluruh Indonesia dan dijual dengan harga Rp59.000. Silakan klik URL ini http://gagasmedia.net/atikel-buku/34-buku-baru/1447-jika-aku-milikmu untuk informasi lebih lanjut.


Sumber: http://moeslema.com/en/bedah-buku-jika-aku-milikmu-karya-bernard-batubara-2/ (dengan perubahan)

Kamis, 03 Maret 2016

Bidadari Pemeluk Subuh

Nicky Rosadi 

Spesifikasi Buku
ID: 715031364 
ISBN: 9786020268682
Editor: Afrianti Pardede
Ukuran: 12,5x19,5 cm
Harga: Rp48.800
Terbit: 29 Juli 2015
Tebal: 240 Hlm






Dira, memutuskan untuk setia menunggu Aqila, yang dia beri janji 12 tahun lalu untuk bertemu kembali di tempat yang mereka telah tentukan. Dira seharusnya bahagia karena pertemuan yang akhirnya terjadi setelah menunggu sekian lama. Ternyata, Aqila bukan gadis yang sama lagi seperti 12 tahun yang lalu.

Keinginan Dira untuk bersama Aqila tidak disambut dengan baik. Dira berusaha membuka hatinya dan mencari cinta yang tepat untuknya. Kehadiran Mila, yang sangat mirip dengan Aqila, membuat Dira juga semakin susah move on dari sosok Aqila. Keinginan untuk bisa bersama dengan Mila pun semakin kuat. Namun berkali-kali Dira mencoba, berkali-kali juga Mila mematahkan keinginan Dira. Dira dan Mila tidak bisa bersatu karena satu alasan yang mendasar, meskipun mereka tahu, mereka saling memiliki rasa.

Pencarian Dira pun berakhir hingga dia menemukan wanita pilihannya. Wanita yang tidak pernah diduganya. Wanita yang tidak pernah terlintas di masa lalunya. Tapi dia yakin, akan menjadi masa depannya.


Pemesanan & informasi, hubungi :
GRAMEDIA DIRECT
Telp. (62-21) 536 50 110 / 111 ext. 3901 / 3902
Email: sales.dm@gramediapublishers.com, langganan@gramediapublishers.com
Online Service / Layanan Online: www.gramedia.com ; www.grazera.com
Suggestion & Complain / Saran & Keluhan: keluhan@gramediapublishers.com 

Secangkir Teh

Nicky Rosadi, Dian Agustina, Rohmadi 

Spesifikasi Buku
ID: 188141232  
ISBN: 9786020241449

Editor: Afrianti Pardede
Ukuran: 12.5x19.5 cm
Harga: Rp46.800

Terbit: 28 Mei 2014
Tebal: 248 Hlm   








Meminum Secangkir Teh adalah awal untuk memulai sebuah pembicaraan, yang menyisakan banyak cerita untuk dikenang. Secangkir teh menjadi cara Regi, Soleh dan Intan dalam mengenang orang-orang yang disayangi. Tapi ternyata kisah mereka tidak semanis secangkir teh yang biasa mereka minum. Berhasil memiliki orang yang disayang atau memutuskan untuk pergi, semuanya disajikan dalam kenangan bersama secangkir teh.

Secangkir Teh adalah novelet hasil kolaborasi tiga orang penulis yang terdiri dari guru dan murid. Dua orang guru dan satu orang murid yang menulis dengan gaya yang berbeda dan saling menyesuaikan. Ada kisah yang sangat manis dan penuh kenangan dalam Secangkir Teh.



Pemesanan & informasi, hubungi:
GRAMEDIA DIRECT
Telp. (62-21) 536 50 110 / 111 ext. 3901 / 3902
Email: sales.dm@gramediapublishers.com, langganan@gramediapublishers.com
Online Service / Layanan Online: www.grazera.com
Suggestion & Complain / Saran & Keluhan: keluhan@gramediapublishers.com

Kamis, 28 Januari 2016

Lumpuh.

Aku tak berharap luka menganga terbuka di depan mata.

Seumpama pasir-pasir tertiup angin,
dengan bisik daun kelapa yang muncul tiba-tiba,
aku tidak pernah lupa telah lumpuh dalam cinta.

Berangkatlah seorang pengembara ke arah selatan,
mencari pengharapan
untuk dibawa pulang bersama isi nampan.
Bukan tangan hampa yang diimpikan dua atau tiga mata dan kepala.
Mereka tetap ingin cinta bisa bicara apa adanya.

Aku tak berharap luka menganga terbuka di depan mata.

Menyambut senja-senja yang hilang disiram tawa.
Tawa yang meluka.
Tawa yang menyedih.
Tawa yang, tak bisa disebut canda.

Pulanglah segera.
Bercerita saja apa adanya.
Bukan karena bisa sembunyikan luka.
Tapi biarkan luka yang bicara.
Biar dia menganga.
Biar dia terbuka.
Biar dia jadi nyeri di depan mata.

Aku tak berharap luka menganga terbuka di depan mata,
maka terpejamlah,
dan bawa duka-duka.



Gondangdia,

28/01/2016
19:48

Jumat, 15 Januari 2016

Bagian I: Munculnya Sebuah Tanda



Kehidupan adalah sebuah cerita. Seperti layaknya sebuah cerita, dalam kehidupan pun selalu ada permulaan, konflik dan penyelesaian. Hal itu terus terjadi berulang-ulang kali, hingga waktu memenggal absurditas itu. Bahkan kadang, kehidupan seakan terasa tak pernah ada penyelesaian, hingga akhirnya seseorang harus menjemput waktunya sendiri dan dengan bangga ia berkata, “itulah penyelesaian,”

Bicara kehidupan, tak akan lepas dari takdir. Takdir seperti layaknya kata-kata yang membawa pembaca melewati alur cerita. Pembaca tak akan bisa berbuat apa-apa. Pembaca hanya akan menjadi kereta yang berjalan di atas rel, tak bisa berbelok atau mundur ke stasiun sebelumnya. Pembaca akan terus melaju, menyusuri kata demi kata yang bertindak sebagai rel yang menuntun matanya hingga akhirnya sampai pada stasiun tujuannya (akhir cerita). Begitulah takdir, kita tidak akan bisa mundur hingga kehidupan benar-benar berakhir.

Namun, akan selalu ada kata-kata sulit dalam cerita yang membuat kita berhenti sejenak. Membuat kita berpikir, menggaruk kepala, membuka kamus, atau bahkan menutup buku itu begitu saja. Seperti apa  yang akan kita lakukan pada takdir sulit yang kita hadapi. Kita akan berpikir, menggaruk kepala, membuka kamus, dan bahkan menutup napas hidup kita begitu saja. Tunggu, membuka kamus? Kamus seperti apa? Mungkin, bisa kubilang kamus Tuhan yang terletak di antara hati, nafsu, dan akal.

***

“Dewa! Oper ke sini!” kata Baynuri sambil melambaikan tangannya.

Tanpa ragu, Dewa mengoper bolanya kepada Baynuri. Baynuri berhasil menyambut operan itu dengan baik. Di depan gawang Fadhil telah bersiap menjaga gawangnya. Dewa pun ikut berlari dan mencari posisi yang paling tepat untuk bisa membobol gawang Fadhil. Fadhil pun mulai menerka apa yang akan dilakukan Baynuri, membobol gawangnya langsung, atau mengopernya kembali pada Dewa. Mata Fadhil kini hanya terpaku pada bola yang terus bergulir itu. Tapi tak disangka, Baynuri menendang bolanya sekuat yang dia bisa. Fadhil melompat ke arah laju bola itu, dan hap!

 “Gol!” Baynuri berteriak sambil mengepalkan tangannya dengan ekspresi yang sangat bahagia.

Di sisi lain, Dewa dengan raut wajah kecewanya hanya bisa menendang-nendang tanah dengan ujung sepatunya.

“Dia selalu seperti itu. Coba saja dia memberikan bola itu lagi kepadaku, pasti akan terjadi gol yang lebih bagus dari ini. Kadang aku ingin sekali dia tidak ada dalam tim ini,” Dewa membatin dalam dirinya sendiri.

Belum sempat kekesalan itu hilang, tiba-tiba saja Dewa merasa pusing sekali. Kepalanya serasa berdenyut dan akan meledak. Dia sampai harus menahan ledakan di kepalanya itu dengan kedua tangannya. Tak ada satu pun temannya yang mempedulikan dirinya. Tiba-tiba semua gelap, tapi tak lama karena kemudian dia kembali berdiri di lapangan tempatnya bermain bola. Di pinggir lapangan dia melihat temannya ramai berkumpul. Dewa menghampiri kerumunan itu. Setelah mendekat, dia melihat Baynuri berbaring di sebelah batu kali yang biasa mereka duduki seusai bermain bola. Baru saja dia ingin mendekat dan menyentuh punggung Baynuri, tiba-tiba dia dikagetkan oleh sesuatu.

“Dewa, ayo balik ke posisi,” kata Baynuri sambil menepuk pundak Dewa. Saat itu juga, kepalanya tak lagi terasa sakit sedikit pun.

Mereka kembali bermain. Kini Baynuri membawa bola, dia mampu melewati Iwan, tapi tak lebih dari tiga langkah kemudian Anwar telah siap merebut bola yang dibawa Baynuri. Anwar berhasil mendapatkan bola itu dengan mendorong tubuh Baynuri menggunakan badannya. Baynuri terpental dan bola yang bebas itu langsung diambil oleh Anwar. Tidak banyak ambil resiko lagi, Anwar langsung menendang bola itu ke arah gawang. Dan tembakannya sama sekali tidak meleset. Anwar berhasil menambah satu angka untuk timnya.

Di sela-sela kegembiraan Anwar. Anwar mendekati Baynuri yang tadi terjatuh karena dorongan badannya. Baynuri masih terbaring di pinggir lapangan. Terdengar rintihan kecil keluar dari mulut Baynuri. Teman-temannya mulai datang mendekatinya karena penasaran. Berkali-kali dia dipanggil oleh teman-temannya, namun dia tak menjawab atau pun sekedar menatap mereka.

“Udah jangan cengeng, kedorong gitu aja loyo banget sih! Ayo main lagi,” kata Anwar sambil membalik tubuh Baynuri.

Namun betapa kagetnya Anwar, ia melihat kepala Baynuri telah merah tertutupi darah yang mengalir dari dahinya. Lantas ia berteriak dan menarik perhatian semua temannya. Merak semua panik dan berusaha menolong Baynuri.

“Akan aku beri tahu orang tua Baynuri di rumah,” kata Iwan yang langsung berlari.

“Dasar pengecut,” kata Jaka sambil memperhatikan Iwan yang berlari semakin jauh. Kini padangan Jaka beralih kepada Dewa. “Kau tahu? Sebenarnya, Iwan itu takut darah,” kata Jaka kemudian.

Meski jengkel dan sempat berharap Iwan berlumuran darah, Dewa bersama teman-temannya berusaha mengangkat tubuh Baynuri. Dia kemudian mengikatkan bajunya yang telah dibuka ke kepala Baynuri agar darah tak lagi mengalir dari dahi Baynuri.

Namun tiba-tiba Dewa tak mampu menopang tubuh Baynuri, kepalanya kembali terasa sakit. Hal yang sama seperti sebelumnya terulang. Lagi-lagi kepalanya terasa ingin meledak. Kemudian semuanya menjadi gelap. Begitu dia membuka matanya, tak ada lagi Baynuri. Yang dia lihat kini, Iwan tertabrak motor hingga terpental. Tapi begitu dia ingin mendekat dan menolong Iwan, semuanya kembali gelap. Kembali dia membuka matanya, kini dia melihat Anwar tengah memperhatikannya.

“Kau tidak apa-apa, Dewa? Kalau kau merasa keberatan, biar yang lain saja yang memapah Baynuri,” kata Anwar yang memapah sisi kanan Baynuri.

Tapi Dewa hanya menggeleng dan kemudian berusaha berdiri dan berjalan. Dewa dan Anwar memapah Baynuri, sedangkan yang lainnya mengikuti dari belakang. Memang agak jauh antara jarak lapangan dengan rumah Baynuri, belum lagi mereka juga harus melewati kali dan jalan raya untuk sampai ke rumah Baynuri.

“Sepertinya habis terjadi kecelakaan,” kata Fadhil kepada Jaka yang berjalan di belakang Dewa dan Anwar. “Lihat itu,” ucap Fadhil melanjutkan dan menunjuk ke arah kerumunan orang yang ada di pinggir jalan raya.

“Coba kita lihat,” kata Jaka kemudian.

“Hey, kita kan harus mengantar Baynuri!” teriak Dewa kepada Jaka dan Fadhil yang berlari mendekati kerumunan.

“Kalian duluan saja. Nanti kami menyusul!” balas Fadhil berteriak.

Dewa menggelengkan kepalanya sambil melihat Fadhil dan Jaka yang berlari mendekati kerumunan orang. Setelah itu Dewa memberi isyarat kepada Anwar untuk melanjutkan perjalanannya ke rumah Baynuri.

Sampai di rumah Baynuri, ibu Baynuri yang kebetulan sedang berada di luar rumah langsung berlari menghampiri Dewa dan Anwar.

“Ada apa dengan Baynuri?” tanyanya heran.

Namun tak ada satu pun dari mereka yang menjawab, mereka hanya menunduk dan membiarkan ibu Baynuri memeriksa anaknya sendiri. Ibu Baynuri langsung terpaku pada baju yang diikatkan di dahi anaknya.

“Apa yang terjadi pada anakku? Ayo, bawa dia ke dalam,” kata ibu Baynuri bergegas.

Kini ibu Baynuri terlihat lebih khawatir dari sebelumnya. Dia menuntun Dewa dan Anwar untuk segera membaringkan Baynuri di kursi yang berada pada ruang tamunya. Dia langsung mengelus dahi anaknya. Terlihat air mata mulai metes di pipinya.

“Apa Iwan belum ke sini dan memberitahu ibu?” tanya Dewa.

Ibu Baynuri hanya menggeleng.

Dewa dan Anwar saling pandang. Kemudian Dewa memberi isyarat agar Anwar memberi tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Baynuri.

“Begini, Bu. Saat kami sedang bermain bola, Baynuri terjatuh dan kepalanya langsung menghantam batu besar yang ada di pinggir lapangan,” ucap Anwar sedikit gemetar.

Ibu Baynuri malah menangis sejadi-jadinya. Terlebih ketika ibu Baynuri memanggil-manggil Baynuri, Baynuri hanya mampu membuka mulutnya yang pucat tanpa mengeluarkan suara apa pun. Beberapa air mata menetes menghujani pipi Baynuri.

Terdengar sayup-sayup Baynuri memanggil ibunya. Ibunya semakin membungkuk hingga hidung ibunya menempel pada pipi Baynuri. Tak ada kata yang keluar. Hanya isakan yang terdengar. Air mata yang membasahi pipi Baynuri tak sanggup membuat mata Baynuri terbuka. Beberapa saat kemudian, tangan Baynuri tak mampu lagi menggenggam jari ibunya. Tubuhnya melemas. Napas tak lagi keluar dari hidungnya. Ibu Baynuri menjerit dan terus membangunkan Baynuri. Tapi Baynuri, telah tertidur untuk selamanya.

Dewa dan Anwar pulang setelah para tetangga datang karena mendengar jeritan ibu Baynuri. Mereka tak tahu harus berbuat apa, akhirnya mereka memilih untuk pulang.

Ketika mereka berjalan melewati rumah Iwan, mereka melihat orang ramai berkumpul. Di sana, mereka juga melihat Fadhil dan Jaka. Tanpa pikir panjang, Dewa dan Anwar langsung menghampiri Fadhil dan Jaka.

“Ada apa?” tanya Anwar sambil berusaha melihat ke dalam rumah Iwan.

“Iwan tertabrak. Tubuhnya berlumuran darah,” jawab Fadhil.

Anwar menatap Fadhil tak percaya. Begitu juga dengan Dewa.

“Kau ingat kecelakaan di jalan raya tadi? Ternyata Iwan yang tertabrak,” kata Jaka menerangkan.

Sebelum azan maghrib berkumandang, dua berita duka terdengar dari speaker masjid di kampung mereka.

***

Di rumah, Dewa hanya tinggal dengan ibu dan kakeknya. Ayahnya meninggal tepat ketika dia dilahirkan, itu kata ibunya. Namun, sampai sekarang, Dewa tak pernah tahu apa penyebab kematian ayahnya. Setiap dia bertanya tentang kematian ayahnya, ibunya tak pernah mau menjawab pertanyaannya.

Setelah salat isya berjamaah, Dewa langsung meninggalkan ibu dan kakeknya. Dia bangkit dan langsung menuju ke kamarnya di sebelah ruangan itu.

“Nak.”

Panggilan ibunya membuatnya berhenti melangkah. Ia menoleh kepada ibunya.

“Kemari sebentar,” ucap ibunya.

Dewa menghampiri ibunya dan duduk tepat di sampingnya. Sementara itu, di sebelah mereka, kakek mulai membaca Alquran.

“Apa yang kau pikirkan, Nak?” tanya ibunya.

Dewa hanya menundukkan kepalanya.

“Nak,” ibunya berusaha memandang wajahnya, “bicaralah,” kata ibunya berusaha meyakinkan.

“Iwan dan Baynuri meninggal, Bu,” kata Dewa sambil tetap menunduk.

Tangan hangat ibunya tiba-tiba membelai kepala Dewa. Dewa mengangkat kepalanya dan memandang wajah ibunya. Ibunya tersenyum kepadanya.

“Sudahlah, Nak, jangan terlalu bersedih. Itu tidak baik. Kau harus ingat, segala sesuatu berasal dari-Nya, dan akan kembali kepada-Nya pula. Jika kau tidak merelakan kepergian dua orang temanmu itu, maka mereka tidak akan tenang di alam sana. Sudahlah, ikhlaskan meraka,” kata ibunya sambil mengelus pipi Dewa. Telapak lembut itu seakan menjadi bantal tipis untuk Dewa bersandar.

“Ada yang aneh dengan kematian mereka, Bu,” kata Dewa pelan.

Ibunya mengernyitkan dahi.

“Aku melihat kematian mereka sebelum mereka benar-benar mati, Bu,” lanjut Dewa.

“Maksudmu?” tanya ibunya tak mengerti.

“Aku seperti bermimpi melihat kematian mereka. Tapi aku yakin itu bukan mimpi, karena aku tidak tidur. Sebelum melihat itu, kepalaku terasa begitu sakit,” kata Dewa kemudian.

“Ketika aku sedang bermain bola, aku cemburu pada Baynuri yang selalu membobol gawang tanpa memberikan kesempatannya kepadaku. Saat itu aku ingin sekali Baynuri tidak ada dalam timku, Bu. Aku ingin menjadi bintang lapangan, bukan Baynuri. Setelah berpikir seperti itu, tiba-tiba saja kepalaku menjadi sakit. Aku tak bisa menahan rasa sakitnya, kepalaku rasanya ingin pecah. Setelah itu, aku melihat Baynuri telah menghantam batu dan kepalanya berlumuran darah. Tapi ketika aku ingin menyentuh Baynuri, pundakku malah ditepuk oleh Baynuri. Dan aku sadar itu hanya, seperti mimpi saja. Tapi tidak lama setelah itu, keadaan yang pernah aku lihat sebelumnya itu terjadi. Aku tak mengerti apa maksudnya ini, Bu,” ungkap Dewa sambil menjambak rambutnya.

“Kemudian,” Dewa melanjutkan, “ketika aku dan teman-temanku sedang sibuk mengurusi Baynuri, Iwan malah lari pulang karena takut darah. Merasa kesal, tanpa sadar aku sempat berharap tubuh Iwan berlumuran darah. Lagi-lagi, setelah itu aku merasakan sakit di kepalaku dan aku melihat Iwan tertabrak motor hingga mengakibatkan tubuhnya berlumuran darah. Kemudian aku kembali disadarkan oleh temanku, tapi kali ini Anwar yang menyadarkanku,” kata Dewa.

“Kemudian, apa yang kau lihat itu menjadi kenyataan lagi?” tanya ibu.

Dewa mengangguk.

Tiba-tiba kakek berhenti mengaji. Tak seperti biasanya kakek berhenti mengaji secepat ini. Dewa dan ibu memperhatikan kakek. Mereka takut kalau obrolan merekalah yang menganggu kakek dan membuat kakek berhenti mengaji.

Kakek menatap Dewa. Dewa menunduk, tak berani menatap balik ke arah kakek.

“Apakah yang kau lihat sebelumnya, benar-benar sama dengan yang terjadi setelahnya, Nak?” tanya kakek dengan suaranya yang berat.

Dewa terkejut, begitu juga dengan ibu. Dewa hanya mengangguk tanpa suara. Kakek kemudian terdiam. Tatapannya kosong menatap lurus ke depan. Entah apa yang dipikirkannya.

Tiba-tiba kakek menutup dan meletakkan Alqurannya pada sebuah tempat mirip lemari yang memang disediakan untuk menyimpan Alquran dan kitab-kitab hadis yang biasa dibaca kakek.

“Wihaga. Itu wihaga,” kata kakek kemudian sambil berjalan mendekati ibu dan Dewa.

Kemudian kakek duduk di sebelah Dewa. Mereka duduk melingkar, persis seperti orang-orang yang sedang melakukan diskusi kecil.

 “Apa itu, Kek?” tanya Dewa heran.

“Sebuah kata dalam bahasa Kawi yang artinya tanda keajaiban. Kau menyimpan kekuatan besar, Nak,” kata Kakek.

Dewa malah tertawa. Tapi kemudian langsung terdiam karena kakeknya terlihat serius.

“Baiklah, aku tidak memakasamu untuk langsung mempercayaiku. Tapi kau harus tahu bahwa kau memiliki kekuatan yang tidak dimilki oleh orang lain,” kata kakek kemudian.

Dewa tak berkata apa pun. Apa yang dikatakan kakeknya benar-benar terdengar seperti dongeng belaka. Tapi dia tahu, kakek bukan orang yang suka bercanda.

“Sudah, tak usah kau pikirkan lagi. Sekarang pergilah tidur. Kau tenangkan pikiranmu. Masalah ini terlalu sulit untuk kau mengerti,” lanjut kakek.

Dewa langsung melangkah menuju kamarnya. Dia meninggalkan ibu dan kakeknya di ruang itu.

Di kamar, Dewa tak langsung memejamkan matanya. Dia masih memikirkan apa yang dikatakan kakeknya. Bahkan, dia sempat mendengar suara ibunya memaksa kakek menjelaskan apa yang sedang dialaminya. Namun dia tidak mendengar jelas jawaban kakek, sampai akhirnya dia terlelap dalam tidurnya.

***

Minggu, 30 November 2014

Bidadari Pertama

Seketika dia ada,
seperti terpaan angin
yang tiba-tiba ada di pelupuk mata.

Aku cinta dia, Tuhan.

Kuselipkan namanya dalam rangkai doa
yang kudengungkan dalam sepi
ketika manusia bermimpi.

Apakah cinta hanya ada di dunia?
Apakah cinta selesai ketika jasad tak bernyawa?

Tuhan, aku cinta dia.

Kuberikan cinta tanpa nyawanya,
agar cinta tak bisa mati meninggalkan tempatnya.
Kuberikan cinta tanpa terlihat jasadnya,
agar cinta dapat merasuk dalam diam dan terasa ketika kau terpejam.

Aku cinta dia,
Tuhan,
jadikan dia bidadariku yang pertama Kau pertemukan di surga.

Karang Mulya
30/11/2014
00:20

Rabu, 02 Oktober 2013

Aku Ingin Tenang

Sayang,
aku tak akan hilang.

Seumpama debu-debu itu terbang tanpa tujuan,
aku,
tetap bertahan.

Dan kau tak lagi tinggal dalam lamunan  kesepian,
aku,
menemanimu dalam kehidupan.

Dari dekat aku mencoba melihat,
setitik ketulusan
yang telah lama hilang
dan kurindukan.

Aku,
pertaruhkan kesetiaan.

Untuk dirimu
yang tak mampu membaca isi hatiku,
jangan ragu.

Dan aku akan tetap memelukmu hingga habis masa waktuku.

Sayang,
aku ingin tenang.
Dan biarkan aku terlelap dalam pelukan dan kasih sayang.



Karang Mulya
08/09/2012
22:36

Rabu, 11 September 2013

Asa

Terhanyut aku dalam asa dan keraguan,
yang terus membawaku dalam napas kebimbangan.

Akankah aku terus bertahan dengan segala kepedihan?

Jangan ambil aku dari segala kebahagiaan.
Biarkan aku hidup dalam kesedihan.
Izinkan aku tetap terus merasakan.

Percayalah,
kekecewaan pasti datang,
namun,
air mata yang membeku,
pun,
tak bisa membuatnya hilang.



Karang Mulya,
11/09/2013
00:12

Minggu, 01 September 2013

Apa(-apa)

Seperti busur dan panah,
yang tercipta hanya untuk berpisah.

Seperti dua sisi koin yang kau punya,
ada, tapi tak pernah bertatap muka.

Seumpama nasib membawa kita bersama,
maka kita bukanlah apa-apa.
Warna tak kan menjadikan kita berseri bagai pelangi,
hanya meredam, dan memudar tak jelas apa yang bersinar.

Tidak, tidak.
Aku bukan siapa-siapa,
hanya orang biasa saja.
Temukan dia yang istimewa.
Yang membuatmu bahagia,
dalam dunia selama kau bernyawa.

Sedang aku menunduk malu,
di hadapan Tuhanku
dalam doa yang kutujukan untukmu.
Tak kan kuberhenti meminta dalam waktu-waktu tertentu.
Tak peduli,
meski harus jadi abu.

"Aku ikhlaskan dia pada tangan yang memeluk dan menjaganya di dunia,
karena cintaku tak ada apa-apanya.
Tapi,
Tuhan, jodohkan aku dalam surga."

Meski gelang tak lagi pada tangannya,
meski cincin telah berubah namanya,
tapi jangan biarkan
kacamata terlepas dari kepala.



Karang Mulya,
01/09/2013

00:33