Peperangan yang paling sulit, adalah perang melawan
masa lalu. Kau tak akan pernah tahu kapan dia datang. Tetapi kau, selalu
dituntut untuk menang.
* *
*
Sebenarnya, ini bukan waktunya aku
untuk jatuh cinta. Ya, tentu saja aku pernah jatuh cinta. Sekali. Dan kurasa
itu untuk terakhir kalinya. Tetapi waktu memang tak pernah mau mendengar
doa-doa dan harapan. Dia mengalir sesuka hatinya, ya, itu pun kalau benar
sangkaku bahwa waktu punya hati.
Tidak, ini benar-benar salahku yang
begitu terhanyut oleh waktu. Waktu mengalir, membawa semua cerita dalam
hidupku. Dan, tentu saja, dia juga turut serta membawa hati dan perasaanku
bersamanya, mempertemukanku dengan seorang gadis pada satu titik waktu.
Tira namanya, tak ada yang istimewa.
Ia hanya manusia biasa. Menjalani hidupnya sebagai hamba Tuhan yang setia.
Meminta melalui doa, memandang dengan harapan, dan berjalan tanpa memedulikan
sandungan.
Aku bertemu dengannya dalam situasi
yang tidak istimewa. Ya, seperti kataku, dia hanya manusia biasa. Ia menyapa,
memperkenalkan dirinya, dan aku menerimanya tanpa maksud yang istimewa. Ia, tak
menunjukkan tindak berarti yang bisa membuatku tertawa atau apa saja, semua
berjalan begitu saja. Datar.
Waktu memang pandai mengalir,
meliak-liukan alurnya, dan membawa semua yang ada di atasnya tanpa pernah
bertanya akan berhenti di mana. Seperti ketika dia membawaku. Seperti ketika
dia membawa Tira. Seperti ketika dia membawa kami. Seakan kami adalah daun
kering yang tak berdaya akan dibawa ke mana. Seakan kami adalah dua titik, yang
hanya bisa dipertemukan oleh satu garis lurus. Kau benar, waktulah garis lurus
itu. Dan sebagaimana garis-garis pada umumnya, waktu tidak pernah berbalik
untuk sekedar menemui aliran yang telah ditinggalkannya.
Entah bagaimana caranya, tapi Tira
mampu menembus masa laluku. Bukan hanya itu, dia juga mengambil bagian yang
telah lama kuanggap hilang. Ia memiliki apa yang selama ini kucari. Ia memegang
apa yang dapat membuatku mengubah pemikiranku. Ia menyeretku masuk dalam sebuah
peperangan. Kau tahu? Peperangan yang paling sulit adalah perang melawan masa
lalu. Kau tak akan pernah tahu senjata apa yang akan bisa membuatmu menang,
tapi mau tidak mau, kau tetap harus memenangkan peperangan itu.
*
* *
“Jadi, kau memang benar-benar tidak
bisa memahami perasaan wanita? Kau sadar perkataanmu itu benar-benar
menyakitinya?”
“Tidak, aku sudah lupa bagaimana
cara memahami perasaan wanita.”
“Lupa? Berarti kau pernah bisa,
bukan?”
“Pernah. Tapi aku tak mau
mengingatnya.”
“Tidak mau? Kau ini aneh.”
Kemudian aku berjalan meninggalkan
Tira begitu saja. Aku tak peduli meski ia mengatakan bahwa aku aneh. Tak ada
pengaruhnya bagiku. Jelas, karena ia bukan siapa-siapa bagiku.
“REGIAN! REGIANSYAH CHANDRASENA!”
Seketika aku menghentikan langkahku.
Nama itu, ya, nama itu…
“Kenapa kau diam? Hah? Ingat sesuatu?”
Ternyata Tira mengikutiku.
“Dengar baik-baik,” aku mengacungkan
telunjukku ke muka Tira, “namaku DEWATARA,
DEWATARA BALASETA! Sekali lagi kau panggil aku dengan nama-nama yang lain,
terutama nama itu,” aku memperlihatkan telapak tanganku, “telapak ini tak akan
segan-segan menghajar wajahmu yang sok manis itu!”
Tira menatapku. Aku melihat matanya
mulai berkaca.
“Maaf,” kataku pelan. “Aku begitu
emosi. Maafkan aku.”
“Kau tahu, aku memang tidak pernah
tahu ada apa dengan masa lalumu,” air mata mulai mengalir di pipi Tira, “tapi tidak
seharusnya kau bersikap seperti ini! Lihat, belum ada satu jam yang lalu kau
menyakiti perasaan Nura dengan kata-katamu, dan sekarang, LIHAT AKU!”
Tira tak mampu lagi membendung
kesedihannya, dia menangis di hadapanku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Beberapa
orang yang melintas, kulihat mencuri pandang ke arahku dan Tira. Ya, mungkin di
mata mereka, kami terlihat seperti sepasang kekasih yang tengah asyik
bertengkar.
“Tira, dengarkan aku,” aku memegang
kedua bahu Tira, dan berusaha berbicara selembut mungkin, “maafkan aku,” Tira
memandangku, dan entah kenapa aku malah merasa gugup. “Hmm… aku tahu aku salah,
maafkan aku.”
Entah kenapa, aku seperti kehilangan
kata-kata. Tak ada rangkaian kata apapun yang terlintas dalam pikiranku. Dan hanya
itu saja yang bisa aku katakan.
“Kau tahu, peperangan yang paling
sulit adalah perang melawan masa lalu. Kau tak akan pernah tahu dari mana dia
akan muncul. Tapi, hal yang paling benar adalah menghadapinya, bukan
menghindarinya.”
Tira benar-benar telah menamparku. Aku
terdiam menatapnya. Aku tak tahu harus berkata apa.
“Sudahlah, mungkin ini salahku juga
yang terlalu mencampuri urusanmu. Tapi ingatlah, Dewatara, kau itu laki-laki,
kau harus bisa memahami perasaan wanita. Kadang, hati wanita bisa hancur hanya
karena dua atau tiga kata saja.”
Tira menurunkan kedua tanganku yang
sedari tadi nyaman berada di bahunya. Dia tersenyum sambil menahan isak
tangisnya, dan kemudian berlalu meninggalkanku.
Tira benar, peperangan yang paling
sulit adalah perang melawan masa lalu. Dan seperti kataku, kau tak akan pernah
tahu senjata apa yang dapat membuatmu menang, tapi kau harus menang. Dan Tira memberi
tahuku, untuk menang aku harus mengahadapinya, bukan menghindarinya.
Dan kisah ini, masih akan terajut….