Minggu, 25 Maret 2012

Aku Mencintaimu Seperti Rangkaian Alfabet yang Terbatas pada Sebuah Kertas

Aku mencintaimu seperti rangkaian alfabet yang terbatas pada sebuah kertas. Yang kuhafal dari a sampai z, ketika aku kecil. Tanpa pernah tahu apa artinya. Tanpa pernah tahu apa maknanya. Dan tak pernah peduli apa gunanya.
            Mungkin aku sudah terlalu munafik bagi dirimu. Ya, aku mencintaimu. Tapi yang kau lihat, sepertinya aku membencimu. Maaf, aku tak bermaksud untuk membuang rasa cintamu. Aku tahu kau begitu mencintaiku, bahkan melebihi dirimu sendiri. Maka, memang sungguh tak pantas rasanya, aku yang mencintaimu (yang juga melebihi diriku sendiri) harus berpura-pura membencimu. Sekali lagi maaf, aku tak bermaksud untuk memaksamu melupakan diriku. Sungguh, karena aku pun tahu bahwa kau tak mungkin bisa melupakan diriku. Kita terlalu dekat untuk dijauhkan. Ya. Itulah yang aku rasakan.
            Percayalah, cinta adalah kata lain dari menyatukan perbedaan. Tak mungkin ada dua orang yang jatuh cinta tanpa memiliki perbedaan. Kau ingat pertama kali kita bertemu? Kau begitu cerewet. Dan aku, hanya menanggapimu dengan pandangan dingin. Aku tak pernah suka dengan orang yang selalu berbicara. Bagiku orang itu seperti seekor anak burung yang selalu menantikan induknya memberikan makanan ke mulutnya. Tapi untuk orang seperti ini, entah apa yang akan membuatnya diam. Pernah suatu ketika aku menanggapi pembicaraan orang semacam ini, kupikir dia akan berhenti berkicau begitu kuturuti keinginannya untuk ngobrol, namun yang terjadi dia malah semakin membuatku pusing dengan topik pembicaraan yang meluas. Tapi tenang, itu bukan dirimu, sayang.
            Entah apa yang membuatmu suka padaku, dan entah apa yang membuatku suka padamu. Kita terhanyut begitu saja seperti sepasang balok kayu yang tak mampu berbuat apa-apa dalam derasnya aliran sungai. Padahal bukankah sudah kukatakan bahwa aku adalah mantan playboy yang mampu menjalin hubungan dengan tujuh wanita sekaligus? Tapi dengan senang hati kau membuka pintu hatimu dan berkata: “aku bisa menerimamu apa adanya”. Kau tersenyum. Mengalahkan senyuman Monalisa yang menyimpan begitu banyak misteri. Dan senyuman itu pula yang akhirnya merubah diriku menjadi orang yang bertahan menjalin hubungan dengan seorang wanita dengan waktu yang lama. Dan itu dirimu.
***
            Aku mencintaimu seperti rangkaian alfabet yang terbatas pada sebuah kertas. Yang mulai kucoba untuk kutulis sendiri di atas bukuku. Yang kuukir mengikuti titik-titik kecil yang dituliskan ibuku. Namun aku masih tak peduli apa gunanya.
            Tidak, teruslah membaca. Aku masih ingin bercerita denganmu. Karena kau ingat, sudah lama kita tak banyak bercerita seperti ini. Akhir-akhir ini, kita terlalu sering mementingkan ego kita masing-masing. Kau ingin didengarkan, dan aku pun begitu. Aku ingin menanyakan sesuatu, dan kau pun begitu. Kau tak pernah mengalah, dan aku juga tentu saja tak mau mengalah. Padahal, kau ingatkan bahwa cinta adalah nama lain dari menyatukan perbedaan? Ya, perbedaan kecil saja. Seperti saat aku mendengarkan, ketika kau ingin didengarkan. Seperti ketika kau menjawab, setelah aku bertanya. Ya, sekecil itu saja. Itu harmonis namanya.
            Kau ingat ketika dulu kita berjalan-jalan ke Ancol? Waktu itu kita sedang sama-sama sakit. Dan kita juga tidak pernah merencanakan itu sebelumnya. Tapi kita merasa bahagia. Kita tak mementingkan diri kita sendiri. Yang ada dibenak kita hanyalah, kita bahagia. Bukan aku bahagia, atau kau bahagia.
            Mungkin kini hal itulah yang sudah kita lupakan. Cinta selalu berbicara tentang kita. Bukan hanya aku, dan bukan hanya kau. Selama ini terlalu sering kata-kata: “kamu ngertiin aku dong!” keluar begitu saja dari mulut kita ketika kita sedang berdebat mempertahankan kebenaran diri kita masing-masing. Tidak sayang, jangan merenung. Aku pun melakukan  hal yang sama sepertimu. Kau jangan merasa bersalah, naikkan lagi kepalamu, tetaplah baca catatanku ini.
            Menyenangkan juga bercerita seperti ini. Mengingatkan kita pada memori terlupa. Memori yang sungguh indah dan membuat kita berkata: “inilah cinta!”. Tapi mengapa hanya dulu saja kita bisa berkata seperti itu? Sekarang, kata-kata itu hampir tak pernah muncul dari bibir mungilmu. Bibir yang rasanya ingin kukulum ketika kau mengatakan itu. Aku tak peduli kita berada di mana saat itu, tapi sungguh, aku ingin melakukan itu.
            Tapi, kau ingat ketika kau menuduh melakukan apa yang tidak aku lakukan? Sungguh, aku ingin menendangmu ketika itu. Aku mencintaimu seperti bayang-bayang yang berlindung dari terang. Tapi mengapa kau tega menuduhku melakukan itu? Bukankah kau yang bilang bahwa kau bisa menerimaku apa adanya? Seharusnya, kau juga bisa menerimaku untuk menduakanmu!
            Oh, tidak. Maafkan aku, sayang. Aku terlalu emosi menceritakan bagian ini. Dan seharusnya kau tahu, karena itulah aku mulai berpura-pura membencimu. Karena itulah aku pura-pura mengkhianatimu. Sungguh, aku tak pernah terima dikatakan pendusta. Jika memang aku adalah pendusta, maka kau tak pantas menjalin cinta denganku. Cukup sudah kita lalui hubungan yang tak bisa kau percaya ini. Aku tahu awalnya memang aku seorang pendusta, tapi percayalah kini aku telah menjadi seorang yang setia.
            Mungkin aku sudah terlalu munafik bagi dirimu. Ya, aku mencintaimu. Tapi yang kau lihat, sepertinya aku membencimu. Maaf, aku tak bermaksud untuk membuang rasa cintamu. Aku tahu kau begitu mencintaiku, bahkan melebihi dirimu sendiri. Maka, memang sungguh tak pantas rasanya, aku yang mencintaimu (yang juga melebihi diriku sendiri) harus berpura-pura membencimu. Sekali lagi maaf, aku tak bermaksud untuk memaksamu melupakan diriku. Sungguh, karena aku pun tahu bahwa kau tak mungkin bisa melupakan diriku. Kita terlalu dekat untuk dijauhkan. Ya. Itulah yang aku rasakan.
            Aku mencintaimu seperti rangkaian alfabet yang terbatas pada sebuah kertas. Yang kutata hingga menjadi sebuah kata. Yang akhirnya kutahu untuk apa gunanya. Hingga jadilah sebuah cerita yang tak pernah sesuai dengan fakta.

Karang Mulya,
01:13