Kamis, 09 Agustus 2012

Bertahan

Jera? Tentu saja tidak. Ada saatnya memang kita merasa terpuruk, Kawan. Tidak, tidak. Meskipun berkali-kali kau alami keterpurukan, bukan berarti kau harus berhenti dan menyerah. Kita adalah manusia, dan diciptakan untuk bertahan.
Bertahan? Ya, memang itulah yang sejak dulu dilakukan oleh nenek moyang kita. Hey, kau masih mau berkilah? Coba ingatlah, bagaimana mungkin kita bisa ada kalau nenek moyang kita tidak bertahan dari ancaman dinosaurus dan kelaparan? Gila? Haha. Kau yang gila, Kawan. Kau ingin melupakan sejarah? Tidak. Tidak mungkin sejarah bisa dilupakan. Dipalsukan, mungkin.
Ada saatnya kita harus mempercayai sebuah sejarah. Ya, tentu saja jika sejarah itu terbukti kebenarannya. Iya, itu fakta, Kawan. Dan memang itulah prinsip dasar fakta, ‘terbukti kebenarannya!’ Silakan kau percaya jika kebenarannya ada. Ya, bukti, Kawan. Bukti! Bisa kau lihat, kau dengar, kau rasakan, dan… ya aku rasa kau bisa simpulkan sendiri seperti apa bukti itu. Tidak harus besar, tapi jelas harus nyata.
Seumpama kau menemukan ada dua orang yang bertikai hanya karena sebuah koin lima ratus rupiah, apakah kau akan diam saja dan tak melakukan apa-apa? Lima ratus rupiah memang sepele, Kawan. Sangat sepele. Tetapi apakah dua orang manusia itu sepele? Mereka besar. Kuat. Berakal. Dan, kau tahu? Kadang mereka licik. Tapi sudahlah, toh membicarakan sifat buruk manusia, itu artinya membicarakan sejelek apa kita sebenarnya.
Kembali pada dua orang yang bertikai tersebut. Kau akan mendiamkan mereka begitu saja? Kau yakin? Mereka penuh emosi, Kawan. Dan emosi, kadang bisa menggelapkan mata mereka. Di kala emosi, seketika itu juga, manusia lain di hadapannya bisa menjelma binatang najis yang halal untuk dimusnahkan. Kau membiarkan itu? Membuat satu jiwa melayang hanya karena kau menyepelekan pertikaian itu. Kau terlalu terfokus pada uangnya, Kawan. Bukan pada manusianya.
Bukankah manusia lebih berharga dari materi yang sering kita cari? Ya. Lantas mengapa manusia sering terabaikan hanya karena jumlah harta? Kau tahu? Kaya tak menjamin bahagia. Percaya padaku, semangkuk es krim yang telah mencair akan bisa membahagiakan seorang anak yang hidup dari keluarga miskin ketimbang mereka yang terbiasa hidup kaya. Lihat, kebahagiaan itu sebenarnya begitu murah.
Kebahagiaan itu tentang hati, bukan materi. Sayang, kadang kita hidup dalam gengsi yang begitu tinggi. Hati kita dipaksa untuk puas pada sesuatu yang sebenarnya terlalu tinggi untuk kita capai. Hingga kita memaksanya. Padahal, aku ingat apa yang dikatakan salah seorang temanku, “apa yang dipaksakan, hasilnya tak akan pernah baik.”
Oh tidak, mengingat kata-katanya, berarti aku terpaksa mengingat siapa orangnya. Ya, karena memang begitu pikiran itu berjalan. Akan terus menghubungkan dari satu hal, ke hal yang lain. Kadang mereka tak berkaitan, tapi memiliki kesamaan. Ya, aku tak mau pura-pura, kadang apa yang kulakukan sekarang, akan kusamakan dengan apa yang pernah kualami sebelumnya. Seperti sekarang.
Jera? Tentu saja tidak. Ada saatnya memang kita akan mengingat, Kawan. Tidak, tidak. Meskipun berkali-kali kau terjebak dalam situasi yang serupa, bukan berarti kau harus mati dan berlari. Kita adalah manusia, dan diciptakan untuk bertahan. Bukan hanya bertahan dari dinosaurus dan kelaparan, tapi juga ingatan yang menyakitkan.
Kuatlah, Kawan…
Karang Mulya,
06 Agustus 2012
22:59

Rabu, 30 Mei 2012

Tira


            Peperangan yang paling sulit, adalah perang melawan masa lalu. Kau tak akan pernah tahu kapan dia datang. Tetapi kau, selalu dituntut untuk menang.
* * *
            Sebenarnya, ini bukan waktunya aku untuk jatuh cinta. Ya, tentu saja aku pernah jatuh cinta. Sekali. Dan kurasa itu untuk terakhir kalinya. Tetapi waktu memang tak pernah mau mendengar doa-doa dan harapan. Dia mengalir sesuka hatinya, ya, itu pun kalau benar sangkaku bahwa waktu punya hati.
            Tidak, ini benar-benar salahku yang begitu terhanyut oleh waktu. Waktu mengalir, membawa semua cerita dalam hidupku. Dan, tentu saja, dia juga turut serta membawa hati dan perasaanku bersamanya, mempertemukanku dengan seorang gadis pada satu titik waktu.
            Tira namanya, tak ada yang istimewa. Ia hanya manusia biasa. Menjalani hidupnya sebagai hamba Tuhan yang setia. Meminta melalui doa, memandang dengan harapan, dan berjalan tanpa memedulikan sandungan.
            Aku bertemu dengannya dalam situasi yang tidak istimewa. Ya, seperti kataku, dia hanya manusia biasa. Ia menyapa, memperkenalkan dirinya, dan aku menerimanya tanpa maksud yang istimewa. Ia, tak menunjukkan tindak berarti yang bisa membuatku tertawa atau apa saja, semua berjalan begitu saja. Datar.
            Waktu memang pandai mengalir, meliak-liukan alurnya, dan membawa semua yang ada di atasnya tanpa pernah bertanya akan berhenti di mana. Seperti ketika dia membawaku. Seperti ketika dia membawa Tira. Seperti ketika dia membawa kami. Seakan kami adalah daun kering yang tak berdaya akan dibawa ke mana. Seakan kami adalah dua titik, yang hanya bisa dipertemukan oleh satu garis lurus. Kau benar, waktulah garis lurus itu. Dan sebagaimana garis-garis pada umumnya, waktu tidak pernah berbalik untuk sekedar menemui aliran yang telah ditinggalkannya.
            Entah bagaimana caranya, tapi Tira mampu menembus masa laluku. Bukan hanya itu, dia juga mengambil bagian yang telah lama kuanggap hilang. Ia memiliki apa yang selama ini kucari. Ia memegang apa yang dapat membuatku mengubah pemikiranku. Ia menyeretku masuk dalam sebuah peperangan. Kau tahu? Peperangan yang paling sulit adalah perang melawan masa lalu. Kau tak akan pernah tahu senjata apa yang akan bisa membuatmu menang, tapi mau tidak mau, kau tetap harus memenangkan peperangan itu.
* * *
            “Jadi, kau memang benar-benar tidak bisa memahami perasaan wanita? Kau sadar perkataanmu itu benar-benar menyakitinya?”
            “Tidak, aku sudah lupa bagaimana cara memahami perasaan wanita.”
            “Lupa? Berarti kau pernah bisa, bukan?”
            “Pernah. Tapi aku tak mau mengingatnya.”
            “Tidak mau? Kau ini aneh.”
            Kemudian aku berjalan meninggalkan Tira begitu saja. Aku tak peduli meski ia mengatakan bahwa aku aneh. Tak ada pengaruhnya bagiku. Jelas, karena ia bukan siapa-siapa bagiku.
            “REGIAN! REGIANSYAH CHANDRASENA!”
            Seketika aku menghentikan langkahku. Nama itu, ya, nama itu…
            “Kenapa kau diam? Hah? Ingat sesuatu?”
            Ternyata Tira mengikutiku.
            “Dengar baik-baik,” aku mengacungkan telunjukku ke muka Tira, “namaku  DEWATARA, DEWATARA BALASETA! Sekali lagi kau panggil aku dengan nama-nama yang lain, terutama nama itu,” aku memperlihatkan telapak tanganku, “telapak ini tak akan segan-segan menghajar wajahmu yang sok manis itu!”
            Tira menatapku. Aku melihat matanya mulai berkaca.
            “Maaf,” kataku pelan. “Aku begitu emosi. Maafkan aku.”
            “Kau tahu, aku memang tidak pernah tahu ada apa dengan masa lalumu,” air mata mulai mengalir di pipi Tira, “tapi tidak seharusnya kau bersikap seperti ini! Lihat, belum ada satu jam yang lalu kau menyakiti perasaan Nura dengan kata-katamu, dan sekarang, LIHAT AKU!”
            Tira tak mampu lagi membendung kesedihannya, dia menangis di hadapanku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Beberapa orang yang melintas, kulihat mencuri pandang ke arahku dan Tira. Ya, mungkin di mata mereka, kami terlihat seperti sepasang kekasih yang tengah asyik bertengkar.
            “Tira, dengarkan aku,” aku memegang kedua bahu Tira, dan berusaha berbicara selembut mungkin, “maafkan aku,” Tira memandangku, dan entah kenapa aku malah merasa gugup. “Hmm… aku tahu aku salah, maafkan aku.”
            Entah kenapa, aku seperti kehilangan kata-kata. Tak ada rangkaian kata apapun yang terlintas dalam pikiranku. Dan hanya itu saja yang bisa aku katakan.
            “Kau tahu, peperangan yang paling sulit adalah perang melawan masa lalu. Kau tak akan pernah tahu dari mana dia akan muncul. Tapi, hal yang paling benar adalah menghadapinya, bukan menghindarinya.”
            Tira benar-benar telah menamparku. Aku terdiam menatapnya. Aku tak tahu harus berkata apa.
            “Sudahlah, mungkin ini salahku juga yang terlalu mencampuri urusanmu. Tapi ingatlah, Dewatara, kau itu laki-laki, kau harus bisa memahami perasaan wanita. Kadang, hati wanita bisa hancur hanya karena dua atau tiga kata saja.”
            Tira menurunkan kedua tanganku yang sedari tadi nyaman berada di bahunya. Dia tersenyum sambil menahan isak tangisnya, dan kemudian berlalu meninggalkanku.
            Tira benar, peperangan yang paling sulit adalah perang melawan masa lalu. Dan seperti kataku, kau tak akan pernah tahu senjata apa yang dapat membuatmu menang, tapi kau harus menang. Dan Tira memberi tahuku, untuk menang aku harus mengahadapinya, bukan menghindarinya.

Dan kisah ini, masih akan terajut….

Minggu, 08 April 2012

Mimpi, dan mati.

Sayap-sayap burung patah membawa mimpi-mimpi,
mimpi,
yang telah menjadi tahi.

Akal busuk merasuk di sela rusuk,
melumat hati,
dan mati.

Apakah indah semua yang berwarna merah?
Ataukah
sudah bahagia semua yang tergadai dengan darah?

Aku bersama seribu luka yang tak kunjung mengering,
basah, dan lengket berbau anyir.
Meski kerak telah kupaksakan hadir tanpa getah bening,
namun kulit
tak seperti mulut seorang penyair.

Hatiku tersiram satu belanga air samudra.
Bukan luka, tapi hati.
Tepat hati,
tanpa selaput tak berwarna.

Sudahlah, jangan menangis
sayang
bukan kau yang membuatku berhenti bermimpi,
dan bukan kau yang membuatku mati.


Tangerang,
Tanpa tetes air mata.
09/02/2010
15:34

Minggu, 25 Maret 2012

Aku Mencintaimu Seperti Rangkaian Alfabet yang Terbatas pada Sebuah Kertas

Aku mencintaimu seperti rangkaian alfabet yang terbatas pada sebuah kertas. Yang kuhafal dari a sampai z, ketika aku kecil. Tanpa pernah tahu apa artinya. Tanpa pernah tahu apa maknanya. Dan tak pernah peduli apa gunanya.
            Mungkin aku sudah terlalu munafik bagi dirimu. Ya, aku mencintaimu. Tapi yang kau lihat, sepertinya aku membencimu. Maaf, aku tak bermaksud untuk membuang rasa cintamu. Aku tahu kau begitu mencintaiku, bahkan melebihi dirimu sendiri. Maka, memang sungguh tak pantas rasanya, aku yang mencintaimu (yang juga melebihi diriku sendiri) harus berpura-pura membencimu. Sekali lagi maaf, aku tak bermaksud untuk memaksamu melupakan diriku. Sungguh, karena aku pun tahu bahwa kau tak mungkin bisa melupakan diriku. Kita terlalu dekat untuk dijauhkan. Ya. Itulah yang aku rasakan.
            Percayalah, cinta adalah kata lain dari menyatukan perbedaan. Tak mungkin ada dua orang yang jatuh cinta tanpa memiliki perbedaan. Kau ingat pertama kali kita bertemu? Kau begitu cerewet. Dan aku, hanya menanggapimu dengan pandangan dingin. Aku tak pernah suka dengan orang yang selalu berbicara. Bagiku orang itu seperti seekor anak burung yang selalu menantikan induknya memberikan makanan ke mulutnya. Tapi untuk orang seperti ini, entah apa yang akan membuatnya diam. Pernah suatu ketika aku menanggapi pembicaraan orang semacam ini, kupikir dia akan berhenti berkicau begitu kuturuti keinginannya untuk ngobrol, namun yang terjadi dia malah semakin membuatku pusing dengan topik pembicaraan yang meluas. Tapi tenang, itu bukan dirimu, sayang.
            Entah apa yang membuatmu suka padaku, dan entah apa yang membuatku suka padamu. Kita terhanyut begitu saja seperti sepasang balok kayu yang tak mampu berbuat apa-apa dalam derasnya aliran sungai. Padahal bukankah sudah kukatakan bahwa aku adalah mantan playboy yang mampu menjalin hubungan dengan tujuh wanita sekaligus? Tapi dengan senang hati kau membuka pintu hatimu dan berkata: “aku bisa menerimamu apa adanya”. Kau tersenyum. Mengalahkan senyuman Monalisa yang menyimpan begitu banyak misteri. Dan senyuman itu pula yang akhirnya merubah diriku menjadi orang yang bertahan menjalin hubungan dengan seorang wanita dengan waktu yang lama. Dan itu dirimu.
***
            Aku mencintaimu seperti rangkaian alfabet yang terbatas pada sebuah kertas. Yang mulai kucoba untuk kutulis sendiri di atas bukuku. Yang kuukir mengikuti titik-titik kecil yang dituliskan ibuku. Namun aku masih tak peduli apa gunanya.
            Tidak, teruslah membaca. Aku masih ingin bercerita denganmu. Karena kau ingat, sudah lama kita tak banyak bercerita seperti ini. Akhir-akhir ini, kita terlalu sering mementingkan ego kita masing-masing. Kau ingin didengarkan, dan aku pun begitu. Aku ingin menanyakan sesuatu, dan kau pun begitu. Kau tak pernah mengalah, dan aku juga tentu saja tak mau mengalah. Padahal, kau ingatkan bahwa cinta adalah nama lain dari menyatukan perbedaan? Ya, perbedaan kecil saja. Seperti saat aku mendengarkan, ketika kau ingin didengarkan. Seperti ketika kau menjawab, setelah aku bertanya. Ya, sekecil itu saja. Itu harmonis namanya.
            Kau ingat ketika dulu kita berjalan-jalan ke Ancol? Waktu itu kita sedang sama-sama sakit. Dan kita juga tidak pernah merencanakan itu sebelumnya. Tapi kita merasa bahagia. Kita tak mementingkan diri kita sendiri. Yang ada dibenak kita hanyalah, kita bahagia. Bukan aku bahagia, atau kau bahagia.
            Mungkin kini hal itulah yang sudah kita lupakan. Cinta selalu berbicara tentang kita. Bukan hanya aku, dan bukan hanya kau. Selama ini terlalu sering kata-kata: “kamu ngertiin aku dong!” keluar begitu saja dari mulut kita ketika kita sedang berdebat mempertahankan kebenaran diri kita masing-masing. Tidak sayang, jangan merenung. Aku pun melakukan  hal yang sama sepertimu. Kau jangan merasa bersalah, naikkan lagi kepalamu, tetaplah baca catatanku ini.
            Menyenangkan juga bercerita seperti ini. Mengingatkan kita pada memori terlupa. Memori yang sungguh indah dan membuat kita berkata: “inilah cinta!”. Tapi mengapa hanya dulu saja kita bisa berkata seperti itu? Sekarang, kata-kata itu hampir tak pernah muncul dari bibir mungilmu. Bibir yang rasanya ingin kukulum ketika kau mengatakan itu. Aku tak peduli kita berada di mana saat itu, tapi sungguh, aku ingin melakukan itu.
            Tapi, kau ingat ketika kau menuduh melakukan apa yang tidak aku lakukan? Sungguh, aku ingin menendangmu ketika itu. Aku mencintaimu seperti bayang-bayang yang berlindung dari terang. Tapi mengapa kau tega menuduhku melakukan itu? Bukankah kau yang bilang bahwa kau bisa menerimaku apa adanya? Seharusnya, kau juga bisa menerimaku untuk menduakanmu!
            Oh, tidak. Maafkan aku, sayang. Aku terlalu emosi menceritakan bagian ini. Dan seharusnya kau tahu, karena itulah aku mulai berpura-pura membencimu. Karena itulah aku pura-pura mengkhianatimu. Sungguh, aku tak pernah terima dikatakan pendusta. Jika memang aku adalah pendusta, maka kau tak pantas menjalin cinta denganku. Cukup sudah kita lalui hubungan yang tak bisa kau percaya ini. Aku tahu awalnya memang aku seorang pendusta, tapi percayalah kini aku telah menjadi seorang yang setia.
            Mungkin aku sudah terlalu munafik bagi dirimu. Ya, aku mencintaimu. Tapi yang kau lihat, sepertinya aku membencimu. Maaf, aku tak bermaksud untuk membuang rasa cintamu. Aku tahu kau begitu mencintaiku, bahkan melebihi dirimu sendiri. Maka, memang sungguh tak pantas rasanya, aku yang mencintaimu (yang juga melebihi diriku sendiri) harus berpura-pura membencimu. Sekali lagi maaf, aku tak bermaksud untuk memaksamu melupakan diriku. Sungguh, karena aku pun tahu bahwa kau tak mungkin bisa melupakan diriku. Kita terlalu dekat untuk dijauhkan. Ya. Itulah yang aku rasakan.
            Aku mencintaimu seperti rangkaian alfabet yang terbatas pada sebuah kertas. Yang kutata hingga menjadi sebuah kata. Yang akhirnya kutahu untuk apa gunanya. Hingga jadilah sebuah cerita yang tak pernah sesuai dengan fakta.

Karang Mulya,
01:13

Senin, 16 Januari 2012

Kuantarkan Cinta Untukmu

                                          Lu                             kis 
         na               ma       ku                  di
         ha                         ti                         yang
           in                                                   dah
         ini.                                           Dan
                 biar                               kan
                            abadi     sampai
                                   nanti.                         
                                       Ku
           se                                         rahkan
           selu                                      ruh cin
             taku atas nama semesta. Ambil dan 
               letakkan tepat di antara detak dan nyawa. 
                                Kuantarkan cintaku untukmu.

Ambilah.
Dan jagalah.
Tangerang,
16/03/2010
08:59

Sabtu, 07 Januari 2012

Hujani Aku dengan Perihmu



Hujani aku dengan perihmu,
agar aku mengerti bahasamu.

Hujani aku dengan perihmu,
agar aku, bukan buku usang dalam pustakamu.

Bahagiamu, sungguh pantas untuk para penghuni istana
yang mengajak dan membawamu berjalan angkuh melewati para sudra,
menapaki tiap jejak dalam lembar kain sutra
yang tak akan kotor meski setitik biji zahra.

Sayang, aku bukan penghuni istana.

Aku hanyalah sampah para dewa
yang sungguh, tak pernah menyentuh surga.
Aku terpinggir bagai pasir
yang berada di tepi samudra.

Tapi,
tetap hujani aku dengan perihmu
agar aku bisa merasa memilikimu
meski aku tak pernah memilikimu.

Karang Mulya,
22/02/2010
18:59

Selasa, 03 Januari 2012

Aku Memanggilmu Bidadari


Seperti gurun yang tak kosong oleh pasir,
seperti mata yang tak enyah dari kelopaknya,
akankah samudra memanggil pulaunya?

Bila kota t’lah hilang dari penduduknya,
bila apel berubah hambar tanpa manisnya,
jangan salahkan nyawa jika jiwa akhirnya berakhir.

Aku memanggilmu bidadari
menantang takdir yang kutahu sudah terukir!

Jangan pisahkan darah dari dagingnya,
karena cermin, selalu berkata apa adanya.

Ketika manusia ribut mencari tuhannya
maka aku,
memanggilmu
bidadari.


Karang Mulya,
12/02/2010
18:58