Rabu, 30 Mei 2012

Tira


            Peperangan yang paling sulit, adalah perang melawan masa lalu. Kau tak akan pernah tahu kapan dia datang. Tetapi kau, selalu dituntut untuk menang.
* * *
            Sebenarnya, ini bukan waktunya aku untuk jatuh cinta. Ya, tentu saja aku pernah jatuh cinta. Sekali. Dan kurasa itu untuk terakhir kalinya. Tetapi waktu memang tak pernah mau mendengar doa-doa dan harapan. Dia mengalir sesuka hatinya, ya, itu pun kalau benar sangkaku bahwa waktu punya hati.
            Tidak, ini benar-benar salahku yang begitu terhanyut oleh waktu. Waktu mengalir, membawa semua cerita dalam hidupku. Dan, tentu saja, dia juga turut serta membawa hati dan perasaanku bersamanya, mempertemukanku dengan seorang gadis pada satu titik waktu.
            Tira namanya, tak ada yang istimewa. Ia hanya manusia biasa. Menjalani hidupnya sebagai hamba Tuhan yang setia. Meminta melalui doa, memandang dengan harapan, dan berjalan tanpa memedulikan sandungan.
            Aku bertemu dengannya dalam situasi yang tidak istimewa. Ya, seperti kataku, dia hanya manusia biasa. Ia menyapa, memperkenalkan dirinya, dan aku menerimanya tanpa maksud yang istimewa. Ia, tak menunjukkan tindak berarti yang bisa membuatku tertawa atau apa saja, semua berjalan begitu saja. Datar.
            Waktu memang pandai mengalir, meliak-liukan alurnya, dan membawa semua yang ada di atasnya tanpa pernah bertanya akan berhenti di mana. Seperti ketika dia membawaku. Seperti ketika dia membawa Tira. Seperti ketika dia membawa kami. Seakan kami adalah daun kering yang tak berdaya akan dibawa ke mana. Seakan kami adalah dua titik, yang hanya bisa dipertemukan oleh satu garis lurus. Kau benar, waktulah garis lurus itu. Dan sebagaimana garis-garis pada umumnya, waktu tidak pernah berbalik untuk sekedar menemui aliran yang telah ditinggalkannya.
            Entah bagaimana caranya, tapi Tira mampu menembus masa laluku. Bukan hanya itu, dia juga mengambil bagian yang telah lama kuanggap hilang. Ia memiliki apa yang selama ini kucari. Ia memegang apa yang dapat membuatku mengubah pemikiranku. Ia menyeretku masuk dalam sebuah peperangan. Kau tahu? Peperangan yang paling sulit adalah perang melawan masa lalu. Kau tak akan pernah tahu senjata apa yang akan bisa membuatmu menang, tapi mau tidak mau, kau tetap harus memenangkan peperangan itu.
* * *
            “Jadi, kau memang benar-benar tidak bisa memahami perasaan wanita? Kau sadar perkataanmu itu benar-benar menyakitinya?”
            “Tidak, aku sudah lupa bagaimana cara memahami perasaan wanita.”
            “Lupa? Berarti kau pernah bisa, bukan?”
            “Pernah. Tapi aku tak mau mengingatnya.”
            “Tidak mau? Kau ini aneh.”
            Kemudian aku berjalan meninggalkan Tira begitu saja. Aku tak peduli meski ia mengatakan bahwa aku aneh. Tak ada pengaruhnya bagiku. Jelas, karena ia bukan siapa-siapa bagiku.
            “REGIAN! REGIANSYAH CHANDRASENA!”
            Seketika aku menghentikan langkahku. Nama itu, ya, nama itu…
            “Kenapa kau diam? Hah? Ingat sesuatu?”
            Ternyata Tira mengikutiku.
            “Dengar baik-baik,” aku mengacungkan telunjukku ke muka Tira, “namaku  DEWATARA, DEWATARA BALASETA! Sekali lagi kau panggil aku dengan nama-nama yang lain, terutama nama itu,” aku memperlihatkan telapak tanganku, “telapak ini tak akan segan-segan menghajar wajahmu yang sok manis itu!”
            Tira menatapku. Aku melihat matanya mulai berkaca.
            “Maaf,” kataku pelan. “Aku begitu emosi. Maafkan aku.”
            “Kau tahu, aku memang tidak pernah tahu ada apa dengan masa lalumu,” air mata mulai mengalir di pipi Tira, “tapi tidak seharusnya kau bersikap seperti ini! Lihat, belum ada satu jam yang lalu kau menyakiti perasaan Nura dengan kata-katamu, dan sekarang, LIHAT AKU!”
            Tira tak mampu lagi membendung kesedihannya, dia menangis di hadapanku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Beberapa orang yang melintas, kulihat mencuri pandang ke arahku dan Tira. Ya, mungkin di mata mereka, kami terlihat seperti sepasang kekasih yang tengah asyik bertengkar.
            “Tira, dengarkan aku,” aku memegang kedua bahu Tira, dan berusaha berbicara selembut mungkin, “maafkan aku,” Tira memandangku, dan entah kenapa aku malah merasa gugup. “Hmm… aku tahu aku salah, maafkan aku.”
            Entah kenapa, aku seperti kehilangan kata-kata. Tak ada rangkaian kata apapun yang terlintas dalam pikiranku. Dan hanya itu saja yang bisa aku katakan.
            “Kau tahu, peperangan yang paling sulit adalah perang melawan masa lalu. Kau tak akan pernah tahu dari mana dia akan muncul. Tapi, hal yang paling benar adalah menghadapinya, bukan menghindarinya.”
            Tira benar-benar telah menamparku. Aku terdiam menatapnya. Aku tak tahu harus berkata apa.
            “Sudahlah, mungkin ini salahku juga yang terlalu mencampuri urusanmu. Tapi ingatlah, Dewatara, kau itu laki-laki, kau harus bisa memahami perasaan wanita. Kadang, hati wanita bisa hancur hanya karena dua atau tiga kata saja.”
            Tira menurunkan kedua tanganku yang sedari tadi nyaman berada di bahunya. Dia tersenyum sambil menahan isak tangisnya, dan kemudian berlalu meninggalkanku.
            Tira benar, peperangan yang paling sulit adalah perang melawan masa lalu. Dan seperti kataku, kau tak akan pernah tahu senjata apa yang dapat membuatmu menang, tapi kau harus menang. Dan Tira memberi tahuku, untuk menang aku harus mengahadapinya, bukan menghindarinya.

Dan kisah ini, masih akan terajut….