Kamis, 28 Januari 2016

Lumpuh.

Aku tak berharap luka menganga terbuka di depan mata.

Seumpama pasir-pasir tertiup angin,
dengan bisik daun kelapa yang muncul tiba-tiba,
aku tidak pernah lupa telah lumpuh dalam cinta.

Berangkatlah seorang pengembara ke arah selatan,
mencari pengharapan
untuk dibawa pulang bersama isi nampan.
Bukan tangan hampa yang diimpikan dua atau tiga mata dan kepala.
Mereka tetap ingin cinta bisa bicara apa adanya.

Aku tak berharap luka menganga terbuka di depan mata.

Menyambut senja-senja yang hilang disiram tawa.
Tawa yang meluka.
Tawa yang menyedih.
Tawa yang, tak bisa disebut canda.

Pulanglah segera.
Bercerita saja apa adanya.
Bukan karena bisa sembunyikan luka.
Tapi biarkan luka yang bicara.
Biar dia menganga.
Biar dia terbuka.
Biar dia jadi nyeri di depan mata.

Aku tak berharap luka menganga terbuka di depan mata,
maka terpejamlah,
dan bawa duka-duka.



Gondangdia,

28/01/2016
19:48

Jumat, 15 Januari 2016

Bagian I: Munculnya Sebuah Tanda



Kehidupan adalah sebuah cerita. Seperti layaknya sebuah cerita, dalam kehidupan pun selalu ada permulaan, konflik dan penyelesaian. Hal itu terus terjadi berulang-ulang kali, hingga waktu memenggal absurditas itu. Bahkan kadang, kehidupan seakan terasa tak pernah ada penyelesaian, hingga akhirnya seseorang harus menjemput waktunya sendiri dan dengan bangga ia berkata, “itulah penyelesaian,”

Bicara kehidupan, tak akan lepas dari takdir. Takdir seperti layaknya kata-kata yang membawa pembaca melewati alur cerita. Pembaca tak akan bisa berbuat apa-apa. Pembaca hanya akan menjadi kereta yang berjalan di atas rel, tak bisa berbelok atau mundur ke stasiun sebelumnya. Pembaca akan terus melaju, menyusuri kata demi kata yang bertindak sebagai rel yang menuntun matanya hingga akhirnya sampai pada stasiun tujuannya (akhir cerita). Begitulah takdir, kita tidak akan bisa mundur hingga kehidupan benar-benar berakhir.

Namun, akan selalu ada kata-kata sulit dalam cerita yang membuat kita berhenti sejenak. Membuat kita berpikir, menggaruk kepala, membuka kamus, atau bahkan menutup buku itu begitu saja. Seperti apa  yang akan kita lakukan pada takdir sulit yang kita hadapi. Kita akan berpikir, menggaruk kepala, membuka kamus, dan bahkan menutup napas hidup kita begitu saja. Tunggu, membuka kamus? Kamus seperti apa? Mungkin, bisa kubilang kamus Tuhan yang terletak di antara hati, nafsu, dan akal.

***

“Dewa! Oper ke sini!” kata Baynuri sambil melambaikan tangannya.

Tanpa ragu, Dewa mengoper bolanya kepada Baynuri. Baynuri berhasil menyambut operan itu dengan baik. Di depan gawang Fadhil telah bersiap menjaga gawangnya. Dewa pun ikut berlari dan mencari posisi yang paling tepat untuk bisa membobol gawang Fadhil. Fadhil pun mulai menerka apa yang akan dilakukan Baynuri, membobol gawangnya langsung, atau mengopernya kembali pada Dewa. Mata Fadhil kini hanya terpaku pada bola yang terus bergulir itu. Tapi tak disangka, Baynuri menendang bolanya sekuat yang dia bisa. Fadhil melompat ke arah laju bola itu, dan hap!

 “Gol!” Baynuri berteriak sambil mengepalkan tangannya dengan ekspresi yang sangat bahagia.

Di sisi lain, Dewa dengan raut wajah kecewanya hanya bisa menendang-nendang tanah dengan ujung sepatunya.

“Dia selalu seperti itu. Coba saja dia memberikan bola itu lagi kepadaku, pasti akan terjadi gol yang lebih bagus dari ini. Kadang aku ingin sekali dia tidak ada dalam tim ini,” Dewa membatin dalam dirinya sendiri.

Belum sempat kekesalan itu hilang, tiba-tiba saja Dewa merasa pusing sekali. Kepalanya serasa berdenyut dan akan meledak. Dia sampai harus menahan ledakan di kepalanya itu dengan kedua tangannya. Tak ada satu pun temannya yang mempedulikan dirinya. Tiba-tiba semua gelap, tapi tak lama karena kemudian dia kembali berdiri di lapangan tempatnya bermain bola. Di pinggir lapangan dia melihat temannya ramai berkumpul. Dewa menghampiri kerumunan itu. Setelah mendekat, dia melihat Baynuri berbaring di sebelah batu kali yang biasa mereka duduki seusai bermain bola. Baru saja dia ingin mendekat dan menyentuh punggung Baynuri, tiba-tiba dia dikagetkan oleh sesuatu.

“Dewa, ayo balik ke posisi,” kata Baynuri sambil menepuk pundak Dewa. Saat itu juga, kepalanya tak lagi terasa sakit sedikit pun.

Mereka kembali bermain. Kini Baynuri membawa bola, dia mampu melewati Iwan, tapi tak lebih dari tiga langkah kemudian Anwar telah siap merebut bola yang dibawa Baynuri. Anwar berhasil mendapatkan bola itu dengan mendorong tubuh Baynuri menggunakan badannya. Baynuri terpental dan bola yang bebas itu langsung diambil oleh Anwar. Tidak banyak ambil resiko lagi, Anwar langsung menendang bola itu ke arah gawang. Dan tembakannya sama sekali tidak meleset. Anwar berhasil menambah satu angka untuk timnya.

Di sela-sela kegembiraan Anwar. Anwar mendekati Baynuri yang tadi terjatuh karena dorongan badannya. Baynuri masih terbaring di pinggir lapangan. Terdengar rintihan kecil keluar dari mulut Baynuri. Teman-temannya mulai datang mendekatinya karena penasaran. Berkali-kali dia dipanggil oleh teman-temannya, namun dia tak menjawab atau pun sekedar menatap mereka.

“Udah jangan cengeng, kedorong gitu aja loyo banget sih! Ayo main lagi,” kata Anwar sambil membalik tubuh Baynuri.

Namun betapa kagetnya Anwar, ia melihat kepala Baynuri telah merah tertutupi darah yang mengalir dari dahinya. Lantas ia berteriak dan menarik perhatian semua temannya. Merak semua panik dan berusaha menolong Baynuri.

“Akan aku beri tahu orang tua Baynuri di rumah,” kata Iwan yang langsung berlari.

“Dasar pengecut,” kata Jaka sambil memperhatikan Iwan yang berlari semakin jauh. Kini padangan Jaka beralih kepada Dewa. “Kau tahu? Sebenarnya, Iwan itu takut darah,” kata Jaka kemudian.

Meski jengkel dan sempat berharap Iwan berlumuran darah, Dewa bersama teman-temannya berusaha mengangkat tubuh Baynuri. Dia kemudian mengikatkan bajunya yang telah dibuka ke kepala Baynuri agar darah tak lagi mengalir dari dahi Baynuri.

Namun tiba-tiba Dewa tak mampu menopang tubuh Baynuri, kepalanya kembali terasa sakit. Hal yang sama seperti sebelumnya terulang. Lagi-lagi kepalanya terasa ingin meledak. Kemudian semuanya menjadi gelap. Begitu dia membuka matanya, tak ada lagi Baynuri. Yang dia lihat kini, Iwan tertabrak motor hingga terpental. Tapi begitu dia ingin mendekat dan menolong Iwan, semuanya kembali gelap. Kembali dia membuka matanya, kini dia melihat Anwar tengah memperhatikannya.

“Kau tidak apa-apa, Dewa? Kalau kau merasa keberatan, biar yang lain saja yang memapah Baynuri,” kata Anwar yang memapah sisi kanan Baynuri.

Tapi Dewa hanya menggeleng dan kemudian berusaha berdiri dan berjalan. Dewa dan Anwar memapah Baynuri, sedangkan yang lainnya mengikuti dari belakang. Memang agak jauh antara jarak lapangan dengan rumah Baynuri, belum lagi mereka juga harus melewati kali dan jalan raya untuk sampai ke rumah Baynuri.

“Sepertinya habis terjadi kecelakaan,” kata Fadhil kepada Jaka yang berjalan di belakang Dewa dan Anwar. “Lihat itu,” ucap Fadhil melanjutkan dan menunjuk ke arah kerumunan orang yang ada di pinggir jalan raya.

“Coba kita lihat,” kata Jaka kemudian.

“Hey, kita kan harus mengantar Baynuri!” teriak Dewa kepada Jaka dan Fadhil yang berlari mendekati kerumunan.

“Kalian duluan saja. Nanti kami menyusul!” balas Fadhil berteriak.

Dewa menggelengkan kepalanya sambil melihat Fadhil dan Jaka yang berlari mendekati kerumunan orang. Setelah itu Dewa memberi isyarat kepada Anwar untuk melanjutkan perjalanannya ke rumah Baynuri.

Sampai di rumah Baynuri, ibu Baynuri yang kebetulan sedang berada di luar rumah langsung berlari menghampiri Dewa dan Anwar.

“Ada apa dengan Baynuri?” tanyanya heran.

Namun tak ada satu pun dari mereka yang menjawab, mereka hanya menunduk dan membiarkan ibu Baynuri memeriksa anaknya sendiri. Ibu Baynuri langsung terpaku pada baju yang diikatkan di dahi anaknya.

“Apa yang terjadi pada anakku? Ayo, bawa dia ke dalam,” kata ibu Baynuri bergegas.

Kini ibu Baynuri terlihat lebih khawatir dari sebelumnya. Dia menuntun Dewa dan Anwar untuk segera membaringkan Baynuri di kursi yang berada pada ruang tamunya. Dia langsung mengelus dahi anaknya. Terlihat air mata mulai metes di pipinya.

“Apa Iwan belum ke sini dan memberitahu ibu?” tanya Dewa.

Ibu Baynuri hanya menggeleng.

Dewa dan Anwar saling pandang. Kemudian Dewa memberi isyarat agar Anwar memberi tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Baynuri.

“Begini, Bu. Saat kami sedang bermain bola, Baynuri terjatuh dan kepalanya langsung menghantam batu besar yang ada di pinggir lapangan,” ucap Anwar sedikit gemetar.

Ibu Baynuri malah menangis sejadi-jadinya. Terlebih ketika ibu Baynuri memanggil-manggil Baynuri, Baynuri hanya mampu membuka mulutnya yang pucat tanpa mengeluarkan suara apa pun. Beberapa air mata menetes menghujani pipi Baynuri.

Terdengar sayup-sayup Baynuri memanggil ibunya. Ibunya semakin membungkuk hingga hidung ibunya menempel pada pipi Baynuri. Tak ada kata yang keluar. Hanya isakan yang terdengar. Air mata yang membasahi pipi Baynuri tak sanggup membuat mata Baynuri terbuka. Beberapa saat kemudian, tangan Baynuri tak mampu lagi menggenggam jari ibunya. Tubuhnya melemas. Napas tak lagi keluar dari hidungnya. Ibu Baynuri menjerit dan terus membangunkan Baynuri. Tapi Baynuri, telah tertidur untuk selamanya.

Dewa dan Anwar pulang setelah para tetangga datang karena mendengar jeritan ibu Baynuri. Mereka tak tahu harus berbuat apa, akhirnya mereka memilih untuk pulang.

Ketika mereka berjalan melewati rumah Iwan, mereka melihat orang ramai berkumpul. Di sana, mereka juga melihat Fadhil dan Jaka. Tanpa pikir panjang, Dewa dan Anwar langsung menghampiri Fadhil dan Jaka.

“Ada apa?” tanya Anwar sambil berusaha melihat ke dalam rumah Iwan.

“Iwan tertabrak. Tubuhnya berlumuran darah,” jawab Fadhil.

Anwar menatap Fadhil tak percaya. Begitu juga dengan Dewa.

“Kau ingat kecelakaan di jalan raya tadi? Ternyata Iwan yang tertabrak,” kata Jaka menerangkan.

Sebelum azan maghrib berkumandang, dua berita duka terdengar dari speaker masjid di kampung mereka.

***

Di rumah, Dewa hanya tinggal dengan ibu dan kakeknya. Ayahnya meninggal tepat ketika dia dilahirkan, itu kata ibunya. Namun, sampai sekarang, Dewa tak pernah tahu apa penyebab kematian ayahnya. Setiap dia bertanya tentang kematian ayahnya, ibunya tak pernah mau menjawab pertanyaannya.

Setelah salat isya berjamaah, Dewa langsung meninggalkan ibu dan kakeknya. Dia bangkit dan langsung menuju ke kamarnya di sebelah ruangan itu.

“Nak.”

Panggilan ibunya membuatnya berhenti melangkah. Ia menoleh kepada ibunya.

“Kemari sebentar,” ucap ibunya.

Dewa menghampiri ibunya dan duduk tepat di sampingnya. Sementara itu, di sebelah mereka, kakek mulai membaca Alquran.

“Apa yang kau pikirkan, Nak?” tanya ibunya.

Dewa hanya menundukkan kepalanya.

“Nak,” ibunya berusaha memandang wajahnya, “bicaralah,” kata ibunya berusaha meyakinkan.

“Iwan dan Baynuri meninggal, Bu,” kata Dewa sambil tetap menunduk.

Tangan hangat ibunya tiba-tiba membelai kepala Dewa. Dewa mengangkat kepalanya dan memandang wajah ibunya. Ibunya tersenyum kepadanya.

“Sudahlah, Nak, jangan terlalu bersedih. Itu tidak baik. Kau harus ingat, segala sesuatu berasal dari-Nya, dan akan kembali kepada-Nya pula. Jika kau tidak merelakan kepergian dua orang temanmu itu, maka mereka tidak akan tenang di alam sana. Sudahlah, ikhlaskan meraka,” kata ibunya sambil mengelus pipi Dewa. Telapak lembut itu seakan menjadi bantal tipis untuk Dewa bersandar.

“Ada yang aneh dengan kematian mereka, Bu,” kata Dewa pelan.

Ibunya mengernyitkan dahi.

“Aku melihat kematian mereka sebelum mereka benar-benar mati, Bu,” lanjut Dewa.

“Maksudmu?” tanya ibunya tak mengerti.

“Aku seperti bermimpi melihat kematian mereka. Tapi aku yakin itu bukan mimpi, karena aku tidak tidur. Sebelum melihat itu, kepalaku terasa begitu sakit,” kata Dewa kemudian.

“Ketika aku sedang bermain bola, aku cemburu pada Baynuri yang selalu membobol gawang tanpa memberikan kesempatannya kepadaku. Saat itu aku ingin sekali Baynuri tidak ada dalam timku, Bu. Aku ingin menjadi bintang lapangan, bukan Baynuri. Setelah berpikir seperti itu, tiba-tiba saja kepalaku menjadi sakit. Aku tak bisa menahan rasa sakitnya, kepalaku rasanya ingin pecah. Setelah itu, aku melihat Baynuri telah menghantam batu dan kepalanya berlumuran darah. Tapi ketika aku ingin menyentuh Baynuri, pundakku malah ditepuk oleh Baynuri. Dan aku sadar itu hanya, seperti mimpi saja. Tapi tidak lama setelah itu, keadaan yang pernah aku lihat sebelumnya itu terjadi. Aku tak mengerti apa maksudnya ini, Bu,” ungkap Dewa sambil menjambak rambutnya.

“Kemudian,” Dewa melanjutkan, “ketika aku dan teman-temanku sedang sibuk mengurusi Baynuri, Iwan malah lari pulang karena takut darah. Merasa kesal, tanpa sadar aku sempat berharap tubuh Iwan berlumuran darah. Lagi-lagi, setelah itu aku merasakan sakit di kepalaku dan aku melihat Iwan tertabrak motor hingga mengakibatkan tubuhnya berlumuran darah. Kemudian aku kembali disadarkan oleh temanku, tapi kali ini Anwar yang menyadarkanku,” kata Dewa.

“Kemudian, apa yang kau lihat itu menjadi kenyataan lagi?” tanya ibu.

Dewa mengangguk.

Tiba-tiba kakek berhenti mengaji. Tak seperti biasanya kakek berhenti mengaji secepat ini. Dewa dan ibu memperhatikan kakek. Mereka takut kalau obrolan merekalah yang menganggu kakek dan membuat kakek berhenti mengaji.

Kakek menatap Dewa. Dewa menunduk, tak berani menatap balik ke arah kakek.

“Apakah yang kau lihat sebelumnya, benar-benar sama dengan yang terjadi setelahnya, Nak?” tanya kakek dengan suaranya yang berat.

Dewa terkejut, begitu juga dengan ibu. Dewa hanya mengangguk tanpa suara. Kakek kemudian terdiam. Tatapannya kosong menatap lurus ke depan. Entah apa yang dipikirkannya.

Tiba-tiba kakek menutup dan meletakkan Alqurannya pada sebuah tempat mirip lemari yang memang disediakan untuk menyimpan Alquran dan kitab-kitab hadis yang biasa dibaca kakek.

“Wihaga. Itu wihaga,” kata kakek kemudian sambil berjalan mendekati ibu dan Dewa.

Kemudian kakek duduk di sebelah Dewa. Mereka duduk melingkar, persis seperti orang-orang yang sedang melakukan diskusi kecil.

 “Apa itu, Kek?” tanya Dewa heran.

“Sebuah kata dalam bahasa Kawi yang artinya tanda keajaiban. Kau menyimpan kekuatan besar, Nak,” kata Kakek.

Dewa malah tertawa. Tapi kemudian langsung terdiam karena kakeknya terlihat serius.

“Baiklah, aku tidak memakasamu untuk langsung mempercayaiku. Tapi kau harus tahu bahwa kau memiliki kekuatan yang tidak dimilki oleh orang lain,” kata kakek kemudian.

Dewa tak berkata apa pun. Apa yang dikatakan kakeknya benar-benar terdengar seperti dongeng belaka. Tapi dia tahu, kakek bukan orang yang suka bercanda.

“Sudah, tak usah kau pikirkan lagi. Sekarang pergilah tidur. Kau tenangkan pikiranmu. Masalah ini terlalu sulit untuk kau mengerti,” lanjut kakek.

Dewa langsung melangkah menuju kamarnya. Dia meninggalkan ibu dan kakeknya di ruang itu.

Di kamar, Dewa tak langsung memejamkan matanya. Dia masih memikirkan apa yang dikatakan kakeknya. Bahkan, dia sempat mendengar suara ibunya memaksa kakek menjelaskan apa yang sedang dialaminya. Namun dia tidak mendengar jelas jawaban kakek, sampai akhirnya dia terlelap dalam tidurnya.

***