Rabu, 21 September 2016

Kita Pernah

Kita pernah bertatap
dengan jarak begitu dekat.

Kita pernah berharap
dengan doa yang begitu lekat.

Antara aku dan kamu,
hanya terpisah oleh predikat yang semu.
Senyummu, menjadi alasan senyumku.
Senyumku, menjadi alasan senyummu.
Aku berani bertaruh,
kau sandarkan kepalamu di bahuku
tak senyaman kau sandarkan kepalamu di bahunya.

Aku pernah mencium aroma napasmu
yang bergerak teratur memenuhi kedua paru-paruku.

Kamu jelas bukan oksigen di antara sesaknya hubunganku.
Aku jelas bukan oksigen di antara sesaknya hubunganmu.
Kita jelas bukan oksigen di antara sesaknya hubungan kita.

Kita hanya berjalan dengan tawa yang tak biasa.
Kita hanya bergandengan dengan bahagia yang tak terpaksa.
Kita bisa
karena kita tak butuh mereka.
Kita ada
karena mereka tak menyentuh kita.
Jadi, apakah mereka sumber ketakberbahagiaan kita?

Ah, jangan munafik.
Kamu pernah berkata mesra dengannya.
Kamu pernah berbuat mesra dengannya.
Kamu pernah bermimpi mesra dengannya.
Jika bukan karena dia, kamu tidak akan pandai menciptakan senyum di pipiku hari ini.

Pikirkan sekali lagi.
Aku hanya angin yang meniup lembut di antara tengkuk lehermu.
Aku hanya sentuhan yang menyusuri seluruh tubuh telanjangmu.
Aku hanya kecupan yang menarik lembut kedua bibir merah jambumu.
Aku tak akan pernah jadi warna dalam aliran darahmu.

Kini, pakai bajumu.
Biarkan sehari saja aku memilikimu.
Bukan karena aku tak pandai menyimpan rahasia antara aku dan kamu.
Tapi aku tak mau
membangun kisah indah dengan menghancurkan kisah yang telah indah.

Karangmulya,
21/9/2016
23:18