Jumat, 01 April 2016

Workshop Penulisan dan Bedah Buku The Girl on The Train

Nicky Rosadi (Kiri) bertindak sebagai moderator, mendampingi Shinta (tengah) dan Truly (kanan) dalam bedah buku The Girl on The Train, Kamis (28/1/2016), di Gedung SINDO, Jakarta.

Dari kereta, setiap hari si tokoh utama mau tidak mau melihat sebuah rumah di dekat stasiun pemberhentian. Celakanya, rumah tersebut adalah bekas rumahnya. Kini rumah itu dihuni mantan suami bersama istri baru dan anaknya.


Noura Books bersama Koran SINDO bekerja sama menyelenggarakan peluncuran buku dan workshop menulis, Kamis (28/1), di Gedung SINDO, Jakarta. Sejumlah mahasiswa dari kampus-kampus di Jabodetabek turut hadir dalam kegiatan yang salah satunya bedah buku novel terjemahan karya penulis Paula Hawkins berjudul The Girl on the Train.

Buku tersebut dinilai banyak menyajikan kejutan dalam tiap lembar saat membacanya. Hal itu diungkapkan oleh blogger dan penggiat buku Truly Rudiono saat diskusi buku The Girl on The Train. Menurut Truly, novel karya Paula mengundang pembaca untuk tidak sabar membaca dari halaman ke halaman berikutnya. Tak ayal, dirinya hanya butuh waktu tak terlalu lama untuk menghabiskan dalam membaca buku The Girl on The Train.

Kejutan yang dimaksud Truly dalam tiap-tiap lembar dari buku tersebut adalah alur cerita yang tidak terduga. Terkadang menimbulkan tokoh-tokoh kejutan dan cerita yang tidak dapat ditebak sedari semula. Namun, plot cerita begitu terstruktur dan tidak lepas dari pakem-pakem penulisan. Sehingga menurutnya, novel The Girl on the Train menyajikan kisah yang menarik dan komplet. “Novel ini menyajikan banyak kejutan. Banyak muncul tokoh-tokoh kejutan yang tidak kita sadari sebelumnya,” katanya.

Mengenai kereta sebagai latar cerita, Truly menceritakan bahwa kereta menjadi sebuah medium yang sangat menyakitkan bagi si tokoh utama (wanita). Karena dari kereta, si tokoh utama mau tidak mau melihat sebuah rumah di dekat stasiun pemberhentian.

Celakanya, rumah tersebut adalah bekas rumah si tokoh utama yang dihuni oleh mantan suami bersama istri baru dan anak-anaknya. Di dalam desain sampul novel, terdapat percikan darah dan sebuah kereta yang tergambarkan penuh misterius. Secara garis lurus, kemisteriusan kereta dalam sampul bisa juga digambarkan sebagai suasana hati si tokoh utama yang cukup suram usai perceraiannya.

Suram karena si tokoh utama terjerumus dalam candu alkohol. Namun menurut Truly, konflik, intrik, dan akhir cerita sangat menantang dan mengejutkan. Membuat siapa pun yang membacanya tidak akan berpikir untuk meninggalkan halaman demi halamannya begitu saja. “Karena banyak kejutan, maka saya tidak berpikir meninggalkan halaman demi halamannya dengan begitu saja,” katanya.

Sementara, perwakilan Noura Books, Shinta, menyatakan bahwa hadirnya buku terjemahan The Girl on the Train di Indonesia oleh Noura Books diawali saat Frankfurt Book Fair 2014. Saat itu buku tersebut direkomendasikan oleh para agen buku internasional.

Ternyata, pada Januari 2015 di Amerika dan Inggris, buku The Girl on the Train mendapat respons positif. Maka tak heran, novel tersebut tengah dalam penggarapan filmnya. “Novel The Girl on The Train banyak direkomendasikan dari agen buku internasional kepada Noura. Kami (Noura Books) yakin buku ini memiliki nilai lebih untuk dipublikasikan,” katanya.

Para peserta workshop penulisan dan bedah buku tengah berfoto bersama.

Menciptakan Emosi
Selain diskusi novel The Girl on The Train, acara tersebut juga diisi dengan workshop menulis. Dalam pelatihan menulis, salah satu yang dijabarkan adalah bagaimana kiat-kiat menulis yang baik, manfaat dari menulis, serta bagaimana mengolah pengalaman pribadi dan orang lain untuk memperkaya tulisan.

Menurut Shinta, penulis yang baik adalah penulis yang tidak menuliskan emosi seorang tokoh, tapi menggambarkan dan menciptakan emosi itu sendiri. Karena jika emosi dituliskan dengan kata, tidak akan membangun karakter si tokoh dan pembaca akan kehilangan suasana dan tidak terbawa emosi pada cerita.

Dan yang tak kalah pentingnya, menurut Shinta, penulis harus rajin membaca ulang tulisannya pada saat akan memulai kembali tulisannya. Hal itu perlu agar terjadi kesinambungan dalam alur cerita dan mendapatkan koreksi dari tulisan-tulisan yang telah ditulis.

Tak hanya itu, melihat kembali tulisan yang telah ditulis juga akan menciptakan kultur autocorrect pada tulisan sendiri. Acara kemudian ditutup dengan pembacaan cerita pendek (cerpen) dari para peserta workshop tentang perjalanan di sebuah kereta. Ketiga peserta yang berhasil memenangkan workshop antara lain Rahayu, Ika Putri Suwarti, dan Dika.

Dari pembacaan cerpen pemenang workshop, Shinta menyatakan bahwa ternyata banyak cerita-cerita yang dapat ditulis dari hal-hal yang paling sering kita temui. Seperti pengalaman menaiki kereta di sebuah kota, ternyata banyak cerita dari dalam kereta. Orang-orang yang ditemui di dalamnya, sekaligus pelajaran apa yang dapat dipetik dari sebuah tulisan.

Dari pelatihan menulis, sekecil apa pun, akan menjadikan tulisan itu berarti. Yang tak kalah penting, menurut Shinta, kunci pertama untuk menjadi seorang penulis adalah banyak-banyak membaca buku. Karena percaya tidak percaya, di dalam buku selalu terdapat kejutan yang sangat berharga. Kejutan itu sepertinya juga termuat dalam novel The Girl on the Train. *imas damayanti

Sumber: http://www.koran-sindo.com/news.php?r=0&n=13&date=2016-01-31 (dengan perubahan)