Selasa, 31 Mei 2016

Kejutan Memesona Seorang Ove

Editor Bahasa KORAN SINDO Nicky Rosadi, blogger Trully Rudiono, dan editor sekaligus peresensi Teguh Afandi menjadi narasumber dalam diskusi novel A Man Called Ove yang digelar Selasa (17/5) lalu di aula Gedung SINDO, Jakarta.


Noura Books kembali menghadirkan novel berkualitas yang ditulis oleh seorang penulis asal Swedia, Fredrik Backman, berjudul A Man Called Ove. Berawal dari blog, kisah fiksi tentang seorang laki-laki tua bernama Ove (59) akhirnya ditulis ke dalam sebuah novel. 

Kisah Ove merupakan kisah yang menguak banyak makna, tentang laki-laki tua tempramen yang memiliki sejumput cinta terhadap orang-orang di sekitarnya. Diskusi novel A Man Called Ove digelar Selasa (17/5) lalu di aula Gedung SINDO, Jakarta. Dalam diskusi tersebut, blogger dan pegiat buku Truly Rudiono menilai, novel A Man Called Ove memberikan banyak kejutan yang tidak terduga. 

Kejutan tersebut hadir dari karakteristik Ove yang dinilainya cukup perfeksionis. Tokoh Ove dalam novel digambarkan sebagai tokoh yang tempramen, namun juga memiliki kelembutan hati yang ditunjukkan dengan cara berbeda. ”Ove merupakan tokoh yang perfeksionis. Ia tempramen, tapi di satu sisi sangat penyayang,” katanya. 

Di dalam banyak adegan, Ove merupakan sosok yang saklek dan sangat pemarah, termasuk pada kucing peliharaannya. Namun di sisi lain, karakter Ove justru memberikan kejutan yang sangat tidak terduga. Kejutan tersebut bisa berupa cara menunjukkan kasih sayang yang berbeda dari orang kebanyakan. Baginya, Ove merupakan tokoh utama yang sangat hidup dan memberi warna yang komplit dalam alur novel. 

Sebagai orang tua, baginya, tingkah dan karakteristik tokoh Ove kadang kala menggelitik, menggemaskan, sekaligus juga membuat pembaca terenyuh. Pasalnya, sebagai orang tua yang hidup dengan prinsip dan pola pikir yang dipercaya dan telah lama dianutnya, budaya baru dalam dunia sosial kini (gadget), kurang dapat dijamahnya. Hal itu, menurutnya, menimbulkan sisi humor yang apa adanya dan mengingatkan kita akan kehidupan para lansia di dunia nyata. ”Ove merupakan sosok yang berbeda dari segi sifat. Namun, di sisi lain Ove juga mengingatkan kita akan nilai humor yang terjadi begitu saja,” katanya. 

Di sisi lainnya, kasih sayang Ove yang ditunjukkan dengan hal yang tidak biasa bagi setiap orang pada umumnya, membuat beberapa sisi dari alur cerita A Man Called Ove cukup menyentuh. Menariknya, Ove merupakan sosok yang sama sekali tidak mengharapkan kata terima kasih ataupun penghargaan lainnya. 

Ove, baginya, adalah tokoh kompleks sekaligus romantik. Sementara, editor Noura Books Yuke Ratna menyatakan, novel A Man Called Ove merupakan salah satu novel yang telah laku terjual sebanyak 500.000 eksemplar di Swedia. Dengan jumlah penjualan yang cukup signifikan tersebut, Noura Books pun menghadirkannya ke dalam bahasa Indonesia. 

Menurut Yuke, pertimbangan novel terjemahan A Man Called Ove hadir di Indonesia bukan hanya mengacu pada sisi nilai penjualan. Lebih dari itu, kisah tentang Ove merupakan salah satu kisah yang cukup inspiratif dan dapat memberikan perspektif baru. Perspektif baru itu salah satunya hadir dengan latar Swedia yang jarang ditulis oleh novelis-novelis populer di dunia. 

Yuke menilai, kisah Ove dengan latar Swedia dapat memberikan perspektif budaya yang baru tentang masyarakat dan kehidupan masyarakat Swedia yang berbeda dengan negara-negara Barat lainnya, seperti Inggris ataupun Amerika. ”Kultur masyarakat Swedia dengan negara Barat lainnya sangat berbeda, di sisi inilah pembaca barangkali bisa mendapatkan bayangan lebih jauh akan itu (kultur Swedia),” katanya. 

Ia menjabarkan, kultur masyarakat Swedia yang cenderung acuh dan individualistis secara garis besar merupakan bayangan akan sosok Ove. Namun, Ove memiliki nilai perbedaan dari kesemuanya. Sikap keukeuh dan tempramen Ove yang banyak ditonjolkan dalam banyak bab justru menghadirkan kejutan di akhir kisah. Kejutan akan sikap Ove terhadap istrinya, Sonja, ataupun bagaimana seorang Sonja bisa menerima Ove dengan sangat terbuka. 

Perlu diketahui, Sonja merupakan sosok wanita pada umumnya, sosialistis dan pandai membangun komunikasi. Sementara Ove merupakan kebalikannya. Ove dan Sonja merupakan dua kutub yang berbeda, namun herannya dapat bertemu dalam satu garis yang disebut dengan rumah tangga. 

Menguak kisah cinta keduanya, Yuke menilai, pembaca akan tahu apa kejutan dan romantisme Ove dan Sonja jika membaca novelnya hingga tuntas. ”Ove dan Sonja itu pembawaannya berbeda. Mereka dua kutub yang berlainan, tapi anehnya dapat bersatu,” katanya. 

Tips Menulis Resensi 

Selain membedah buku A Man Called Ove , diskusi tersebut juga menyajikan tips dan trik dalam menulis resensi. Editor Noura Books dan penulis resensi buku Teguh Afandi menilai, terdapat banyak hal yang harus dipegang teguh dalam menulis resensi. Setiap penulis resensi menurutnya memiliki kriteria tersendiri dalam penulisannya. Akan tetapi, secara garis besar, seluruh penulis resensi harus mengacu pada kode etik yang ada. 

Meski kode etik dalam penulisan resensi pada setiap media berbeda, Teguh menilai, secara garis besar terdapat satu kode etik yang paling umum yang harus ditaati para penulis resensi, yakni menghindari plagiasi. Plagiasi merupakan tindakan tercela dalam karya tulis. 

Selain bukan merupakan proses berpikir mandiri, plagiasi juga akan berimbas pada kredibilitas si penulis. ”Yang paling umum, setiap penulis resensi tidak boleh plagiat,” katanya. Selain menjabarkan mengenai kode etik, Teguh juga menjabarkan tentang tips dan trik menulis resensi agar dapat dimuat di media. *imas damayanti

Sumber: http://www.koran-sindo.com/news.php?r=0&n=16&date=2016-05-29