Senin, 01 Agustus 2016

Teenlit sebagai Media Alternatif dalam Proses Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia bagi Remaja


Ketika kita berjalan masuk ke sebuah toko buku, bukan pemandangan aneh lagi melihat banyak novel hasil karya para remaja. Beberapa nama di antaranya sudah sangat kita kenal, namun banyak juga penulis baru yang tidak pernah kita dengar sebelumnya. Dengan cover lucu nan unyu, buku-buku mereka memenuhi hampir seluruh etalase novel populer. Kebanyakan judul berbahasa asing. Namun ada juga beberapa yang tetap mempertahankan nuansa lokalnya. Itulah teenlit, novel-novel karya remaja yang kini tengah merajalela.

Teenlit merupakan sebuah akronim dari teenager (remaja) dan literature (sastra). Secara sederhana, teenlit berarti sastra remaja. Hal ini tentu saja seiring dengan isinya yang lebih dekat dengan dunia remaja. Dari sini, teenlit dapat pula disebut sebagai sebuah karya sastra. Rene Wellek dan Austin Warren memberikan batasan sastra sebagai segala sesuatu yang tertulis dan tercetak. Teenlit tenstu saja merupakan sebuah karya yang tertulis dan tercetak. Dengan demikian, teenlit termasuk dalam sebuah karya sastra.
Dari segi struktur, teenlit ternyata juga memiliki unsur-unsur pembentuk yang serupa dengan karya-karya sastra lain. Teenlit memiliki alur, tema, tokoh dan penokohan, setting, juga gaya bahasa di mana semua itu merupakan bagian dari unsur intrinsik sastra. Hal ini membuktikan bahwa teenlit dapat digunakan sebagai media pembelajaran sastra di sekolah karena siswa dapat menganalisis unsur-unsur intrinsik yang terkandung dalam teenlit.

Meski demikian, akar dari genre ini sesungguhnya berasal dari Barat. Buku Harian Bridget Jones (terjemahan Bridget Jones Diary; juga telah dilayarlebarkan) merupakan buku pertama dari genre tulisan populer ini yang muncul di Indonesia pada 2003. Namun, ketika teenlit terjemahan sepertinya mulai mendominasi, para penulis lokal pun turut menggeliat. Karya-karya mereka bahkan sampai tercetak hingga jutaan kopi. Hal itu menunjukkan bahwa teenlit lokal pun bisa menggeser dominasi teenlit Barat. 
Sebut saja Cintapuccino yang dalam sebulan sudah harus dicetak tiga kali dan terjual 11.000 eksemplar sejak diluncurkan. Dealova tercetak sejumlah 10.000 eksemplar, juga sebulan setelah dirilis. Fairish yang sampai 2005 sudah terjual hingga 29.000 eksemplar. Fakta tersebut menggambarkan potensi yang dimiliki para penulis lokal kita tidaklah kalah dengan para penulis luar. Setidaknya, mereka berhasil meraih pasar dalam negeri.

Sebagai salah satu genre tulisan, teenlit mungkin bisa dibilang tidak terlalu rumit. Alur cerita yang mudah ditelusuri, gaya bahasa yang sangat mengena, fenomena yang diangkat terkesan sangat dekat dengan kehidupan remaja, semua itu memungkinkan penerimaan bagi genre yang boleh disebut relatif baru dalam khazanah sastra Indonesia. Hal ini pulalah yang menjadi daya tarik bagi remaja sebagai kalangan yang paling menggemari teenlit
Isi cerita yang demikian, bisa dimaklumi karena kebanyakan penulis genre ini ialah remaja. Dealova, misalnya, ditulis ketika penulisnya masih duduk di bangku SMP. Sementara Me Versus High Heels ditulis oleh siswi SMU. Sebagian karya ini malah diangkat dari buku harian dengan modifikasi di sana-sini demi menghasilkan rangkaian cerita yang menarik. 
Tidak dapat dipungkiri, fenomena ini memberi dampak positif, setidaknya dalam dua hal. Pertama, keberhasilan para penulis muda ini bisa mendorong siapa saja untuk mulai mengikuti jejak mereka. Tidak heran bila kemudian ada lebih banyak lagi penulis untuk genre baru ini. Kedua, fakta bahwa beberapa novel berangkat dari sebuah buku harian bisa menegaskan kembali bahwa menulis tidak serumit yang dibayangkan kebanyakan orang. Semua bisa diawali dari diri sendiri.

Pada sebuah teenlit, remajalah yang menjadi sentralnya. Kehidupan mereka berada di seputar sekolahan, pergaulan dengan teman-teman sebaya mereka, juga hobi dan minat anak remaja. Dunia remaja juga dimeriahkan dengan percintaan yang umumnya dengan teman-teman sebaya mereka, mulai dari menaksir seseorang dan jatuh cinta, patah hati, sampai pada kenakalan remaja. Semua itu tercermin dalam sejumlah teenlit. Dengan demikian, secara tidak langsung, sebuah teenlit bisa dianggap sebagai cermin budaya para remaja.

Lihat saja, misalnya, Looking for Alibrandi yang menggambarkan kehidupan anak remaja. Novel yang ditulis dengan gaya penulisan buku harian ini isinya tidak jauh dari kehidupan sekolah, jatuh cinta (baca: naksir), dan pesta ulang tahun. Sementara itu, gambaran kehidupan remaja yang natural, dengan kekonyolan, kejahilan, dan keanehan lainnya bisa juga dilihat pada Fairish
Lalu aspek yang rasanya juga jelas terlihat ialah aspek bahasa. Gaya bahasa gaul, yang sebenarnya merupakan bahasa Indonesia dialek Jakarta, turut hadir dalam novel genre ini. "Lo-gue" yang dihadirkan tidak sekadar membuat teenlit begitu terasa dekat dengan para remaja, tapi justru dunia remaja yang demikian itulah yang tercermin lewat teenlit. Belum lagi cara penyajiannya yang menyerupai penulisan buku harian, lebih membangkitkan keterlibatan para pembacanya (Santoso 2005).

Sebagai cermin budaya remaja, teenlit juga turut menghadirkan efek positif. Kita mengakui kalau masa-masa remaja tidak sekadar masa-masa ceria belaka, tetapi juga masa-masa kritis pencarian jati diri. Santoso melihat bahwa sejumlah teenlit turut memberikan alternatif pencarian identitas diri, mulai yang normatif, sampai yang memberontak. Para pembaca bisa menggunakannya sebagai salah satu pertimbangan pilihan identitas diri.

Meski fenomenal, pro-kontra terhadap genre ini tetap saja mencuat. Sebagian kalangan beranggapan bahwa karya satu ini adalah karya yang terlalu ringan. Sama sekali tidak mengangkat fenomena krusial dalam masyarakat. Teenlit juga dianggap hanya menawarkan sisi manis kehidupan, sesuatu yang tidak bisa dianggap sebagai kondisi global masyarakat Indonesia.

Gugatan demikian pada satu sisi memang ada benarnya. Kalau kita bandingkan, misalnya dengan novel O karya Eka Kurniawan, teenlit jelas tidak seimbang. Eka Kurniawan tidak sekadar menyajikan bahasa yang "taat kaidah", tapi juga indah. Isu yang diangkat juga cenderung lebih kaya dan berbobot. Hal ini menyebabkan teenlit tidak akan bertahan lama.

Selain itu, teenlit juga dianggap sebagai genre yang merusakkan bahasa. Meskipun ragam lisan menjadikan teenlit sangat dekat dengan pembacanya yang notabene merupakan remaja, ragam itu cenderung tidak disajikan dengan daya didik yang tinggi. Malah, keberadaan bahasa Indonesia terkesan tidak terencana dan tidak terpola dengan baik. Termasuk pula keberagaman bahasa dan warna-warni percakapan yang dipandang tidak dapat dipola serta hampir tidak terkendali. Selain itu, dari segi politik bahasa nasional, novel teenlit dianggap tidak memedulikan bahasa Indonesia.

Dari segi isi, teenlit juga dituduh sebagai genre yang menganggap bahwa nilai-nilai pergaulan seperti di Barat (berciuman dengan lawan jenis, membicarakan seks, pesta-pesta) wajar-wajar saja diterapkan. Maka yang ditampilkan ialah warna-warni kehidupan yang meniru gaya Barat. Sehingga rok pendek dan baju ketat turut menjadi tren masa kini. Demikianlah kira-kira gugatan yang disampaikan lewat sebuah Debat Sastra yang diselenggarakan di Universitas Nasional, 7 September 2005 tentang teenlit.

Gugatan ini bisa dianggap cukup berlebihan. Karena kalau kita mencermati, gaya hidup remaja sejak sebelum genre ini merebak, tidaklah berbeda jauh. Aspek bahasa mungkin tidak seheboh saat ini, namun sudah tercermin sejak lama. Demikian pula dalam hal pergaulan. Apalagi pengaruh budaya Barat sudah meresap di negeri ini sejak lama. Dengan kata lain, transisi budaya itu tidak terjadi ketika teenlit hadir.

Berbicara mengenai bermutu atau tidaknya sebuah karya sastra, akhirnya jatuh pada penilaian pribadi pembacanya. Sebuah karya sastra disebut bermutu bila ia mampu memberikan kebaruan terhadap pembacanya. Tentu saja ini mengandung pengertian bahwa karya sastra bermutu itu multi-interpretasi. Di mana sebuah karya mampu ditafsirkan dalam banyak segi kehidupan sesuai dengan latar belakang pembacanya. 
Dari paparan tersebut, kurang bijak rasanya memvonis teenlit sebagai sebuah karya yang tidak bermutu karena dianggap tidak memenuhi nilai sastra. Perlu diingat pula bahwa setiap karya sastra memiliki golongan pembacanya sendiri. Jadi, hal ini ikut menegaskan bahwa bermutu atau tidak sebuah karya sastra tergantung pula bagaimana pembaca menilainya.

Dengan demikian, tentu teenlit tidak dapat serta merta dipandang dengan sebelah mata. Kedekatannya dengan dunia remaja telah menjadikan teenlit mendapat tempat tersendiri dalam kehidupan siswa. Justru karena itulah, teenlit dapat digunakan sebagai suatu media alternatif dalam proses pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia sehingga diharapkan pembelajaran akan lebih menyenangkan dan siswa terlibat di dalamnya.